Tanggal 3 September 2022 menjadi semacam tonggak, yang mengingatkan akan keberanian pemerintah dalam mengambil langkah kebijakan fiskal yang tidak populer dan ditakuti para pemangku kebijakan selama ini, yaitu : menaikkan harga BBM!
Strategi berupa pencabutan subsidi (sehingga harga BBM naik) dan mengembalikan harga nasional pada harga pasar internasionalnya (harga keekonomiannya) ditempuh, walau dianggap mengabaikan penderitaan rakyat (no sense of crisis).
Apa saja sisi baik (plus) dan sisi tidak baik (minus) dari kenaikan harga BBM, akibat pencabutan subsidinya ini?
Kita mulai dari sisi kerugiannya. Dampak negatifnya antara lain:
1. Kenaikan harga komoditas BBM akan membuka ruang pada inflasi untuk merangkak lebih tinggi lagi.
2. Efek domino-nya akan menjalar pada semua sektor yang memiliki keterkaitan dengan BBM. Keterkaitan yang paling utama adalah di bidang transportasi. Padahal transportasi dengan segala moda-nya begitu vital dalam aktivitas non bisnis maupun bisnis, yakni sebagai salah satu penentu variabel biaya/ cost, baik pada industri besar, kecil, maupun UMKM. Tak heran, inflasi seakan bergerak spiral karenanya.
Akibatnya, harga makanan minuman akan merambat naik, sebagai salah satu contoh. Margin atau laba para pelaku usaha menipis. Mereka terhimpit dilema, dengan pilihan : menaikkan harga dagangan atau mengurangi isi dagangan mereka (kuatitas dan kualitas).
3. Walau seakan aman karena sudah mengikuti mekanisme pasar internasional, namun komoditas BBM akan menghadapi tantangan atau gunjang-ganjing (volatility), ketidakpastian (uncertainty), ketidakstabilan, terutama berkaitan dengan kurs, kartel internasional, eksplorasi, maupun resiko geopolitik/ geopolitical risk (perang), geographical of risk (bencana alam), dan sebagainya.
4. Kenaikan BBM ini juga umumnya memicu keresahan yang berujung pada unjuk rasa, demo, yang saat ini sudah diprediksi lembaga/ institusi internasional, bahkan beberapa pihak sudah memdisainkan indeks pengukurnya, berupa Social Unrest Index)