Lihat ke Halaman Asli

Noverita Hapsari

Seorang Kompasioner

Selamat Tinggal, Nopol Cantikku... (4-Tamat)

Diperbarui: 23 Desember 2021   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pri

     Sang waktu adalah tabib ajaib yang dapat menyembuhkan hampir segala luka hati. Terbukti, perasaanku berangsur membaik, seiring berjalannya masa. Hari-hari ini aku lebih banyak bersenandung.

          Di penghujung bulan September, kuputuskan mengunjungi sahabat lamaku, Dila. Ia yang paling terakhir namun juga yang paling wajib menjadi tempat curhat-ku. Tak heran, ia jugalah yang paling gencar dan tak lelah untuk mengajakku kembali ke bangku kuliah, menyelesaikannya, yang kemudian menerapkan ilmu, alias bekerja di dunia nyata, alih-alih menenggelamkan diri ke dalam emosi tak tentu arah.

         Kedatanganku disambut Dila dengan pelukan hangat dan ekspresi bersemangat. Bibi Rus, asisten rumah tangga yang sudah bekerja cukup lama pada keluarga Dila, bahkan ikut menyalamiku, walau sambil mengempit kemoceng.

         Aku dan sobatku itu mulai berbincang ramai, menepis rindu, saling menyebarkan rasa suka ria yang tidak disembunyi-sembunyikan.

          Membutuhkan udara segar, aku dan Dila memutuskan untuk keluar untuk berkendara sebentar, sekalian mencari kebutuhan Dila ke toko buku.

          Mobil Dila melaju, berbaur sigap dengan kendaraan lainnya. Saat lampu merah, di satu jalan utama yang paling ramai kurasa, orang-orang menyeberangi zebra cross di depan kami dengan bergegas, tanpa mengindahkan satu sama lainnya. Begitu sibuk.

      Perhatianku tertuju pada para pejalan kaki yang bergerak di sepanjang jalur pedestrian. Mereka mengenakan masker berwarna-warni dengan model beragam, dan juga gerakan mereka tampak seragam. Semua kelihatan normal saja, walau aku yakin jauh di lubuk hati mereka memiliki problematika kehidupan masing-masing.

       Sambil menyetir, Dila bercerita panjang lebar mengenai situasi terkini kampus kami.

        Di suatu putaran jalan berbentuk U, mobil-mobil merapat tersendat, Dina mengulurkan selembar uang dua ribuan, memberikannya pada 'pak ogah' dengan pamrih agar mobil kami dipandu dan dibukakan jalan, lepas dari kemacetan.

"Kau tahu, apa yang ia cari?" tanya Dila sambil menganggukkan dagunya ke arah pak ogah tersebut. "Ia dan teman-temannya mencari sesuap nasi, makanan... sebagai kebutuhan primer. Sedangkan kamu sekarang cengeng, tenggelam dalam kesedihan, menangisi apa.. nopol cantik?" ujar Dina dengan nada tinggi, setengah bercanda, namun membersitkan sindiran pedas padaku. Seruannya itu menderingkan lonceng alarm rasaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline