Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Mengembalikan Peran Perpustakaan

Diperbarui: 29 Juni 2020   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri


Lelaki itu, bertubuh pendek, seratus enam puluh centi kurang, setiap pagi sejak pukul sembilan hingga lewat tengah hari sekitar pukul lima sore, duduk di Perpustakaan.

Kakinya, menggantung pada kursi yang di dudukinya. Sebagai penanda, bahwa, tubuhnya memang pendek. Tahukan anda, siapa lelaki pendek yang menghabiskan waktunya di perpustakaan itu? Dia adalah Karl Marx. Bapak Komunis yang kelak ajarannya dikenal sebagai Marxisme.
Mark memiliki nama lengkap KARL HEINRICH MARX. lahir di Prusia, 5 Mei 1818, meninggal di London, 14 Maret 1883.

Teori Marxisme yang beliau tulis, dibukukan dengan judul DAS KAPITAL (Materialist Conception of History).

Di ujung jalan Aceh Bandung, yang bertemu dengan Jalan R.E. Martadinata Bandung, ada taman yang dikenal sebagai Taman Pramuka. Pada Taman Pramuka ini, ada Perpustakaan, dengan isi Perpustakaannya terbilang lengkap. Dari buku-buku yang up date hingga klasik terdapat di situ.

Di Jalan Banda Bandung, pada sisi gelora Saparua, juga terdapat perpustakaan dari Gereja Katolik. Pada perpustakaan jalan Banda itu, koleksi buku yang tersedia, juga lengkap. Bahkan novel populer pada zamannya yang ditulis Edy.D.Iskandar,  Ashadi Siregar juga tersedia di situ.

Di lantai dasar Mesjid Istiqlal, juga terdapat Perpustakaan. Buku yang tersedia, juga sangat beragam, bukan hanya tentang kajian agama. Juga buku-buku ilmiah, sejarah, budaya juga science.

Itulah kondisi, sumber ilmu, sebelum era digital. Semua berpusat pada Perpustakaan. Bayangkan, tanpa Perpustakaan, tidak akan muncul Das kapital. Tifak ada disertasi S1, S2 bahkan S3 sekalipun. Saya pribadi, tak bakal mengenal Frankeinstein, Papillon, kitab-kitab klasik, hingga buku yang sifatnya temporary seperti kumpulan tulisan majalah Panji Masyarakat, Tempo, Inti sari, Trubus dlsbnya.

Zaman berubah, Perpustakaan tergeserkan pada era digital. Peran Google begitu  dominan. Akibatnya, minat baca masyarakat menurun. Utamanya pada generasi muda.
Perpustakaan sepi, generasi muda mendengar asing kata perpustakaan. Apapun masalah yang mereka hadapi, solusi yang diharap, "cari" di Google.

Memang, untuk hal-hal yang sifatnya sekilas dan di permukaan, peran Google cukup membantu. Namun, untuk hal-hal yang sifatnya kajian, penelitian dan pengambilan kesimpulan dari sintesa dan antitesa, peran perpustakaan tidak dapat digantikan oleh Google.

SIde efek dari kehadiran Google, juga terasa dalam dunia pendidikan. Guru, Pendidik dan Dosen, mulai menggeser metode "mengajar" mereka. Materi yang mereka berikan, tidak menekankan pada How, dan Why. Melainkan pada When.
Sehingga, ketika mereka memberikan soal. Juga tentang When. Jika pertanyaan hanya sekitar when, maka Google merupakan solusi yang cerdas.
Jadi, jangan berharap kajian Panca Sila. Misalnya, How, bagaimana itu Panca Sila, bagaimana filosofi yang terkandung di dalamnya, bagaimana tinjauan sosiologi dan kultural dari beragamnya masyarakat Indonesia. Why. Mengapa harus di Indonesia,  mengapa dia dipilih, mengapa dia lulus terus dari berbagai ujian, hingga timbul istilah Panca Sila sakti. Semua kajian itu, tidak ada.
Panca sila hanya diajarkan dengan kata When. Kapan dirumuskan, kapan hari lahirnya, kapan hari kesaktiannya. Dan ketika, when-when ini, ditanyakan, maka Google dengan gagah, mampu menjawab semuanya.

Jika demikian, untuk apa belajar? Cukup buka Google, lima menit kemudian, semua masalah terjawab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline