Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Bau Daun Padi

Diperbarui: 28 Juni 2020   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bau ini yang selalu memanggil, membawa Mak  selalu ingin  pulang. Bau daun padi, menjelang isi. Demikian kata Mak, ketika menginjakkan kakinya di kampung halaman beliau.

Saya ketika itu, masih berusia 24 tahun. Itulah pertama kali, mengunjungi kampung halaman Mak. Saya, tak sepenuhnya mengerti, apa maksud Mak dengan Bau daun padi? Saya hanya tersenyum, lalu, mengiyakan seluruh celoteh Mak tentang kampung halamannya.

Kini, tiga puluh empat tahun kemudian, kembali, saya mengunjungi kampung Mak, tentunya tanpa bersama Mak, beliau telah lebih dahulu menghadap Allah. Namun, memori pulang kampung pertama bersama Mak, tak mungkin terlupakan. Juga tentang bau daun padi itu.

Saya menganalisa, bau daun padi, hanya lah istilah. Untuk menggambarkan, sesuatu yang khas kampung beliau, tak beliau jumpai di tanah rantau, bahkan ketika membawa sang putra yang sudah dewasa. Aroma kampung itu, tetap "sesuatu" banget. Tak ada duanya.

Bagai daun kembali pada tampuknya, ranting kembali pada cabang dan cabang kembali pada batang. Ada bulir aluran kulit pada daun batang dan cabang, yang hanya dimiliki oleh batang tersebut, sehingga mereka dapat kembali, pas pada aluran yg khas itu. Nama daun, ranting dan cabang, boleh sama untuk suatu tanaman dan pohon. Namun, aluran tiap pohon, hanya khas pada satu pohon itu, tak pada yang lain.

Bagai anak kembali pada Mak. Mak bisa berbilang ratusan juta, bahkan milyard di permukaan bumi ini. Namun, satu anak, hanya untuk satu Mak. Tak tergantikan dan tak dapat disamakan. Ada ikatan emosi dan perjalanan kisah dalam waktu, yang tak mungkin di duplikasi kan pada Mak yang lain, pada wanita yang lain.

Kampung dengan segala kesederhanaan nya, bagai sebuah buku yang tak mungkin dicetak ulang. Isinya, mungkin, boleh sama. Namun, rasa yang mengiringinya, tak mungkin sama. Ada hal-hal yang dapat diceritakan. Namun, banyak hal yang hanya bisa dimengerti dengan dilihat, dicium dan disentuh. Begitulah, mungkin tafsir dari bau daun padi yang dibisikkan Mak pada saya ketika itu.

Itu pula tafsiran, mengapa kita harus berhaji, berumrah. Tak ada redaksi kata ataupun tulisan yang mampu menggambarkan rasa hati, ketika melihat Ka'bah, menyentuhnya dan mencium Hajar Aswad. Maka, untuk tahu rasa itu, datang sendiri, rasakan sendiri, buat kesimpulan sendiri. Karena, rasa dan kesimpulan, tak dapat di generalisir. Dia sangat individualis, nafsi-nafsi.

Pulang lah ke kampung, ke asalmu. Insha Allah, kau akan tahu siapa dirimu, asal muasal dirimu. Ada nenek moyangmu dengan segala ideal yang ada di kepala dan dadanya tentang apa yang kelak di rasakan dan dicapai anak-anak mereka, hingga kau kini berada pada posisimu.

Ada Rasul yang dengan segala ideal akan ajaran yang dibawanya dan seluruh perjuangannya, hingga kau kini, memahami agama dan ajarannya seperti sekarang ini. Semuanya, tak tiba-tiba dan bebas nilai. Semuanya, ada rangkaian panjang benang merah yang mempertautkannya. Maka, untuk tahu, rangkaian panjang itu, pulanglah ke pangkal mu, ke kampung halaman, dimana orang tua mu berasal, agamamu bermula.
Inilah salah satu tafsir mudik itu.

Bunda mengajarkan saya kembali ke asalnya dengan caranya sendiri. ada saatnya juga, kita mengajarkan pada anak dan cucu kita dengan cara kita. Pelajaran tentang mudik yang perlu di update tiap saat. Jika kita tak mampu untuk mengajarkannya, maka, belajarlah ....... Insha Allah
.
Wallahu A'laam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline