Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Manusia Tak Jelas Identitas

Diperbarui: 10 Juni 2020   06:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

blackswanfarming.com

Bermula ketika akan selesai sekolah lanjutan pertama. Saya yang memiliki nilai akademis memuaskan. Oleh kepala sekolah dianjurkan untuk masuk SMA. Dengan asumsi bahwa mau kemana akan dilanjutkan kelak, nanti saja setelah tamat SMA.

Namun, orang tua tidak setuju. Lebih rasional jika, saya masuk sekolah kejuruan. Singkat cerita, saya masuk STM jurusan mesin. Terletak di tengah kota Bandung. Di bawah yayasan yang berafiliasi ke Kodam III Siliwangi.

Setiap hari sabtu, kami di suruh buka baju, berkumpul di halaman sekolah. Lalu, mulailah katak 1 dan seterusnya di mainkan. Jurus dasar karate. Tujuannya. Mungkin, kami sebagai anak-anak siliwangi, tidak hanya memiliki jiwa yang tangguh. Namun, fisik juga, harus tangguh.

Namun, saya punya pendapat berbeda. Kegiatan ini, apa tujuannya? Melahirkan lelaki tangguh atau sebagai persiapan kelak, jika gagal dalam hidup, punya alternative lain, menjadi preman tangguh.

Singkat kata, ketidak puasan jiwa itu. Menyebabkan keinginan untuk masuk SMA semakin tidak mungkin ditahan. Tetapi, untuk pindah ke SMA saya tidak berani melawam keputusan yang sudah diputuskan Bapak.

Akhirnya, saya tetap sekolah di STM pagi hari dan siang harinya. Saya sekolah di SMA. Sebagai pengejewantahan bentuk kompromi antara keinginan diri sendiri dan menghormati keputusan Bapak. Pagi hari, ketika berangkat sekolah lampu jalanan masih menyala, sebagai sisa waktu semalam sebelum dipadamkan. Dan ketika pulang, lampu jalan sudah menyala, sebagai pertanda menyambut malam yang segera akan datang sebentar lagi.

Soal nilai akademis, jangan ditanya. Pada dua sekolah itu, nilai saya termasuk pada ranking tiga besar, khusus nilai eksakt, rankingnya selalu nomer satu.

Di sela waktu padat yang tak masuk akal itu. Saya masih sempat membaca novel-novel berat seperti Papillon, Marks Twain, di Bawah Bendera Revolusi dlsbnya.

Diakhir perjalanan masa SLTA saya diterima di sebuah fakultas tekhnik, yang jurusan arsitekturnya, konon, lebih memiliki nilai lebih dibandingkan dengan ITB, juga di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Dengan pertimbangan pola pikir kekanakan, saya memilih Jakarta.

Di Jakarta, setelah dua semester, kembali saya diterima di Universitas Negri yang beralamat di Rawamangun. Sejarah kisah ketika di SLTA, seakan berulang kembali. Jika saja tidak, malam itu, datang seorang kepala sekolah untuk meminta saya mengajar di sekolahnya untuk mata pelajaran Fisika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline