Kebocoran Dana Desa menjadi prima dalam sorotan Nasional, segala upaya segera diusahakan, banyak pengawas dana desa dibentuk untuk mencegah kebocoran dana Desa. Namun, sudah tepatkah langkah yang ditempuh? Jangan-jangan dana bocor bukan karena kurangnya pengawasan. Melainkan, kesalahan dalam kebijakan dan aplikasi yang dilakukan oleh kemendes sendiri. Jika demikian halnya. Maka, kebijakan yang salah dan aplikasi praktek yang belum sempurna, mendesak untuk segera dilakukan perbaikan, sebelum mendatangkan segala macam pengawas dana Desa.
Ilustrasinya, ketika ada Kucing mencuri ikan di rumah, jangan buru-buru memanggil Polisi untuk menangkap sang Kucing. Bisa saja, kesalahan bukan pada Kucing. Melainkan, pada pemilik rumah, karena meletakkan Ikan di Meja makan. Mengapa tidak menyimpannya pada Lemari makan. Jika perlu, lemari makan dikunci, kemudian kunci lemari makan dikantongi oleh pemilik rumah.
Sumber-sumber kebocoran Dana Desa cukup banyak, saya ingin mencermatinya secara detail. Sehingga, ketika tulisan ini terlalu panjang, akan ada tulisan berikutnya dengan topic yang sama, "mencermati sumber kebocoran Dana Desa". Kita berusaha mencari akar masalahnya, lalu dari akar masalah itu, dicari solusinya. Sehingga, ketika semua masalah jelas, kebocoran yang terjadi, dapat dibuat seminimal mungkin, dari yang minimal itulah tugas para pengawas dapat dilakukan efektif.
Inilah beberapa sumber kebocoran dana desa, antara lain.
Kebocoran Pada Bidang Infra Struktur.
Pada pekerjaan infra struktur, banyak sekali celah bocornya dana desa. Hal ini, dapat terjadi, karena peluang untuk bocor saling memiliki keterkaitan erat. Salah saja kita menangani satu masalah, maka masalah itu akan merembet pada masalah sebelahnya, hingga hasil akhirnya terjadi kebocoran dana desa.
Diantara masalah-masalah itu;
Satu, Beban Kerja yang Sangat Tinggi vs Salary Rendah.
Berbeda dengan era PNPM, maka beban kerja yang dihadapi pada era pendampingan desa cukup berat. Jika pada era PNPM satu kecamatan, pekerjaan fisik hanya empat hingga enam pekerjaan fisik. Namun, pada era pedampingan desa, penambahan itu sangat luar biasa. Satu desa bisa mengerjakan pekerjaan fisik hingga enam pekerjaan. Jika diasumsikan saja satu kecamatan sepuluh desa. Maka, pekerjaan fisik akan menjadi enam puluh (60) item. Itu artinya, sepuluh kali lipat dibanding era PNPM.
Pertanyaannya dimana keberatannya? Jika dihubungkan pada soal tekhnis an sicht, jawabnya mungkin saja tak masalah. Namun, jika dilihat dari besaran salary yang diterima oleh PDTI, maka disini, peluang bocornya dana Desa terbuka.
Pertimbangannya, dengan gaji yang diterima setengah dari gaji era PNPM, yakni, sebesar gaji UMR DKI dan beban kerja yang sepuluh kali lebih berat dari PNPM, maka, ketika ada tawaran main mata dari TPK atau pihak Desa. Maka peluang itu, menjadi godaan yang sulit untuk tidak diterima. Adagiumnya, kesalahan bukan hanya disebabkan oleh pribadi si pelaku, tetapi juga disebabkan factor external luar yang membuka peluang. Soal yang demikian, hendaknya menjadi pertimbangan Kemendesa untuk menutupi sisi lemahnya, sehingga kemungkinan main mata antara PDTI dan Desa dapat diminimalisir.