Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Saung, Kearifan Lokal yang Tergusur Peradaban

Diperbarui: 20 Juni 2017   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saung di tengah sawah. Fiveprime.org

Mengapa, pada luas lahan sawah yang sama di Karawang dan di Banten, panen padi yang dihasilkannya berbeda. Padi yang dihasilkan, pada lahan persawahan di Karawang lebih banyak dibandingkan dengan Banten. Salah satu pendapat, mengatakan. Bahwa salah satu penyebabnya karena saung.

Kenapa dengan saung?

Karena saung di area persawahan daerah Banten, jumlahnya lebih banyak, dibandingkan jumlah saung di daerah Krawang. Artinya, semakin banyak saung, akan semakin banyak petani sawah yang beristirahat di saung. Akibatnya, jumlah jam kerja yang digunakan untuk aktivitas bertani di sawah akan semakin sedikit. Dengan sendirinya, panen yang dihasilkan akan berkurang. Demikian salah satu kesimpulan yang diperoleh.

Kesimpulan yang sangat logis. Namun, benarkah demikian? Sesederhana itukah? Tulisan ini, mencoba melihat sisi lain dari sebuah saung.  

Saung Tengah Sawah (dok. Pribadi)

Saung berasal dari bahasa Sunda. Bentuknya sebuah bangunan kecil atau gubuk kecil. Berfungsi sebagai tempat istirahat sejenak, baik setelah lelah bekerja, dari terik matahari atau untuk melaksanakan sholat, jika waktu sholat tiba. Di daerah lain, saung juga dikenal masyarakat. Meski, disebut dengan nama berbeda, seperti Dangau untuk Sumatera Barat.

Saung, pada masa lalu, merupakan pusat peradaban masayarakat yang menggantungkan hidup dari pertanian. Apakah itu, dari aktivitas mengolah lahan persawahan atau berladang. Sesaat setelah meninggalkan rumah di pagi hari. Maka, area "bersosialisasi" berpindah ke lahan pertanian, pusat pertemuannya sosialisasi dilakukan, di tempat yang kita sebut saung.

Pada saung, mereka berkumpul melepaskan lelah, makan bersama, ngobrol, ngopi dan menebar segala informasi. Di saung denyut nadi kehidupan masyarakat tradisional hidup. Sebelum tiba waktu sore, untuk pulang ke rumah.

Jadi, saung bukan sekadar tempat istirahatan. Di saung, peradaban masyarakat menggeliat.

Di selatan Banten dikenal istilah ajeungan sumping. Terjemahan dalam bahasa Indonesia, ulama pendatang. Konon, istilah ajeungan sumping, berkaitan erat dengan saung. Para ulama dalam upaya melakukan dakwah penyebarab agama Islam, dengan perbekalan seadanya, melakukan safari perjalanan dengan berjalan kaki. Mereka melepaskan lelah & penat di Saung. Di saung pula mereka memperkenalkan diri, bersosialisasi dan larut dalam kegiatan masyarakat dimana merka datangi. Kemudian, memperkenalkan agama yang mereka bawa dengan bahasa sederhana dan praktek sederhana pula.

Memperkenalkan apa itu Tuhan, melakukan sholat sehingga menimbulkan pertanyaan besar bagi pemiliki saung tentang gerakan yang terlihat asing itu, lalu menjelaskan apa itu sholat dsbnya.

Dari kegiatan ajeungan sumping ini, Islam mengakar di Banten. Beberapa perguruan Islam awalnya didirikan oleh ajeungan sumping. Bahkan, salah satu perguruan yang cukup tua dan memiliki nama di Banten, sang ajeungan sumping itu, masih bisa ditemui.

Pertanyaannya sekarang kemana peranan saung? Demikian tragis nasib saung, sehingga tuduhan yang sungguh menyakitkan diterima saung, sebagai penyebab tidak maksimalnya hasil pertanian. Saung diartikan sebagai lambang kemalasan yang mengakibatkan menurunnya hasil panen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline