Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Pancasila sebagai Perekat Bangsa

Diperbarui: 25 Februari 2017   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patung Soekarno dibawah Pohon Sukun, pada Taman Perenungan Soekarno di Ende (dok. Pribadi)

 Setelah larut dalam kesejukan Taman Perenungan Bung karno nan Rindang di tepian laut Teluk Sawu Ende. Saya mencoba menarik benang merah antara proses kelahiran ide Pancasila ketika itu, dengan kondisi real Pancasila pada saat kekinian. Apakah sesungguhnya yang terkandung dalam Pancasila, dalam kaitan dengan tempat kelahiran Pancasila yang bernama Ende? Sehingga, sebagai sebuah kenyataan,semua kita mendapatkan kenyataan Pancasila, demikian sakti dan teruji dalam perjalanan kebangsaan Indonesia hingga saat kini.

Coba kita lihat kondisi saat itu, penduduk Ende yang hanya 5000 orang, dengan etnis suku yang beragam. Ada penduduk Asli Ende, ada pendatang dari beberapa suku diIndonesia, ada ada keturunan China, ada juga missionaris yang berkebangsaan Belanda, juga ada keturunan Arab. Demikian juga dengan agama yang dianut, ada Islam, ada Khatolik.

Namun, kehidupan keseharian yang terjalin, demikian guyub dan harmonis. Perbedaan suku dan agama tak menjadikan penghalang dalam kehidupan keseharian nan rukun. Apakah karna jumlah mereka yang sedikit? Apakah karena wilayah mereka begitu sempit? Mungkin saja, alasan itu benar. Tetapi, Soekarno, tidak hanya melihat pada kenyataan yang terlihat dipermukaan saja, dalam “semedi” perenungannya di Taman perenungan Soekarno, beliau melihat, sesungguhnya kenyataan yang terhampar didepan mata beliau, adalah buah dari perjalanan filosophi bangsa Indonesia yang berlangsung lama. Hanya saja, masyarakat tak menyadari arti dari kehadiran filosofi yang kini masyarakat nikmati. Soekarno-lah yang menemukan mutiara terpendam itu. Soekarno, memberikan nama sebagai Persatuan.

Coba lihat, bagaimana semangat kebangsaan yang menyala-nyala di dada Soekarno, terasa mustahil untuk diucapkan secara verbal pada penduduk yang mayoritas masih buta huruf di Ende ketika itu. Apalagi untuk disampaikan dalam bentuk tulisan. Lalu, dengan terobosan yang juga seakan tidak mungkin dilakukan. Soekarno membentuk Tonil. Group sandiwara. Ternyata, sambutan masyarakat demikian antusias. Bukan hanya untuk menonton tonil, juga untuk menjadi pemainTonil, demikian juga dukungan gereja untuk menyediakan tempat, kursi dan mencetak karcis masuk.

Apa artinya itu? Semangat kebangsaan itu, ternyata berkobar juga pada masyarakat Ende. Hanya saja, dengan keterbatasan ilmu dan isolasi geografis, semangat itu tak bersuara, tak terdengar, tak bergaung. Hanya seorang cerdas yang mampu menangkap kesunyian yang sedang bergelora di dada masyarakat Ende. Soekarno berhasil menangkapnya. Dengan menggunakan frekwensi gelombang yang sama dengan frekwensi yang dimiliki masyarakat Ende, menggunakan media bernama Tonil Kelimutu. Akhirnya, gelora itu mampu diangkat kepermukaan. Soekarno memberikan mutiara yang terangkat keatas permukaan itu dengan nama Kebangsaan. Staat.

Bentuk mini dalam staat, mungkin saja, kondisi Ende yang dihadapan Soekarno saat itu. Namun dalam perenungannya, yang dimaksud staat, adalah kesatuan Indonesia dari mulai ujung Sumatera yang bernama sabang hingga ujung Timur Papua yang bernama Mearuke. Demikian juga, staat yang dimaksudkan Soekarno, bukan Staat yang mengatas namakan satu agama tertentu saja. Melainkan, semua agama yang bersepakat membentuk pilar penyangga bernama Indonesia. Keberagaman agama, tempat, suku, adat istiadat itulah yang terjalin dalam pita besar yang menyatukan dan mengikat Indonesia. Bhineka Tunggal Ika.

Lihat, bagaimana Ende yang kecil ketika itu, dengan Kapela yang dipenuhi Umat Khatolik, Mushola dan Mesjid yang dipenuhi oleh Umat Islam. Namun, disaat yang sama pula, para pemeluk Agama Khatolik dan Islam, bersimbah peluh berlatih dalam persiapan pementasan Tonil kelimutu. Kekhusukan agama, berjalin kental berkelindan dalam aroma semangat Indonesia merdeka. Tangkapan dari kondisi yang terbentang dihadapan Soekarno, akhirnya terwakili dalam Pancasila, dengan posisi urutan tertinggi yang benama keTuhanan Yang Maha Esa. Artinya, memang sejak awal konsep Rahmatan lil Alamin dalam Islamdan konsep kasih pada sesama dalam agama Khatolik.Sudah memberikan konstribusinya pada Indonesia, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia lahir.

Bersama Kompasianer asal Ende, Roman. Di Taman Perenunga Soekarno. (dpk.Pribadi)

Kondisi kekinian.

Lalu bagaimana dengan Pancasila, dalam hubungannya dengan kondisi kekinian? Kondisi yang oleh sebagian masyarakat, sedang memasuki era mencemaskan. Mampukah Pancasila menjadi alat perekat bangsa, untuk bangsa, yang dilihat secara pesimis oleh sebagian masyarakat sebagai kondisi yang nyaris terbelah.

Menjawab pertanyaan diatas, menurut hemat saya, ada tiga hal yang perlu menjadi telaah kita bersama.

Satu, perlu dipertanyakan, apa sesungguhnya yang terjadi, sehingga sebagian masyarakat memandang kondisi kekinian dengan demikian pesimisnya, hingga sampai pada kesimpulan bahwa kondisi ini, membuat bangsa Indonesia nyaris terbelah. Hemat saya, mereka yang berpikiran demikian, hanya mereka yang berpikiran pesimis saja. Penyebabnya dapat beragam, bisa karena tipisnya rasa optimis dalam diri, bisa juga disebabkan kurangnya pengetahuan tentang sejarah bangsa Indonesia sendiri. Khususnya Pancasila.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline