Jika kita membaca kata destinasi, maka memori dalam pikiran kita, membayangkan obyek wisata yang indah yang telah kita kunjungi. Bisa juga, kita hanyut dalam khayalan tentang obyek wisata yang belum kita kunjungi. Berbagai gambar khayal muncul, akan bagaimana dan akan apa yang akan kita kerjakan di tempat indah yang akan kita kunjungi itu.
Berbagai persiapan dan bekal, kita lakukan untuk mengunjungi destinasi wisata, baik yang telah pernah kita kunjungi ataupun yang belum pernah kita kunjungi. Persiapan itu, bisa dengan pertanyaan, kapan akan kita kunjungi? Berapa lama waktu untuk tinggal disana? Berapa lama waktu dalam perjalanan? Berapa biaya yang diperlukan dalam perjalanan ke sana. Apa saja agenda acara yang akan kita lakukan disana? Setelah semua persiapan matang, perjalanan itupun dilakukan.
Jika tak ada hal-hal diluar perkiraan, maka perjalanan itu, tentu akan sesuai dengan apa yang telah kita rencanakan.
Ketika kita selesai dengan acara yang telah kita “schedule” kan, maka kita pulang dengan kondisi kejiwaan yang lebih fresh, segar dan siap untuk melakukan aktifitas lain yang lebih menantang.
Pointnya. Perolehan akhir yang kita harapakan dari sebuah perjalanan destinasi, adalah kondisi kejiwaan yang Fresh.
Jikalau, tujuan akhir dari sebuah perjalanan destinasi, hanya untuk memperoleh kondisi kejiwaan yang fresh. Mengapa kita tidak pernah bertanya, apakah ada alternative lain, untuk memperoleh hasil yang sama dengan tidak menghabiskan biaya yang tidak sedikit, waktu yang tidak sebentar serta keruwetan yang bisa saja akan terjadi, jika ada hal-hal diluar perkiaraan kita?
Jawaban dari pertanyaan itu, ada..!
Itulah yang disebut dengan destinasi hati.
Caranya? Ternyata, sangat mudah.
Sesungguhnya, dalam hati kita, banyak tempat-tempat indah yang patut kita kunjungi setiap saat. Disana juga ada tempat-tempat berbahaya bagi kita. Maka sebagai pemilik tunggal dari hati diri sendiri. Maka perlu, bagi kita untuk setiap saat berkunjung pada tempat yang indah, sekaligus merekondisi tempat-tempat yang tidak indah untuk menjadikannya indah. Adagiumnya, jika tidak kita sendiri yang melakukannya, lalu, siapa lagi? Kalau bukan sekarang kita lakukan, kapan lagi?
Tempat indah itu, misalnya pada areal kenangan indah, ketika kita jatuh cinta pada pasangan hidup kita. Lalu bagaimana kondisinya sekarang, adakah areal cinta yang dulu pernah membuat hidup kita begitu berarti, masih seperti dulu. Atau sudah menjadi areal semak belukar yang tak ada pohon cinta disitu lagi? Pohon cinta yang karena tak pernah kita dikunjungi, tak pernah kita beri pupuk, menjadi merana, lalu dengan banyaknya semak belukar yang tak pernah kita bersihkan menjadikan pohon cinta itu semakin cepat menuju kematiannya. Mengapa, kita tak mencoba kembali untuk membersihkan semak belukar yang tumbuh disana?