Jika saja saya tak mengunjungi kota Bajawa, tentu saja anggapan bahwa Flores daerah yang panas dan gersang, akan saya sepakati. Namun anggapan demikian, seakan sirna ketika minggu diakhir Juli 2016 saya mengunjungi Bajawa.
Awalnya, sejak dari Mbay, ibu kota kabupaten Nagekeo, yang merupakan Kabupaten pecahan dari Kabupaten Ngada, yang Ibu Kotanya Bajawa, udara terasa demikian panas dan kering, hingga saya tiba di Mataloko.
Udaranya menjadi sejuk, hingga tidak salah jika di Mataloko ada sekolah Seminari, sekolah yang dipercaya sebagai sekolah Seminari kedua di tanah air setelah sekolah sekolah Seminari Mertoyudan, Yogyakarta sebagai sekolah Seminari pertama di Indonesia.
Adik yang duduk di sebelah saya mengatakan bahwa, Bajawa adalah sebuah kota yang berhawa sejuk. Sama seperti Bandung di Jawa Barat, Bajawa di kelilingi Bukit dan di lereng Gunung Inerie, sehingga berbentuk kota bak sebuah kuali dan sang kota berada di dasar kuali. Udara yang dimiliki Bajawa, juga sesejuk kota Bandung, demikian adik saya memberi info tentang Bajawa pada saya, siang itu.
Tak memerlukan waktu lama, sekitar sepuluh menit melewati Mataloko, sang adik meminta saya melongok ke arah kanan jalan, dan benar. Di Bawah sana, terletak sebuah kota, kota Bajawa. Tidak membuang waktu, saya segera meng”abadi”kan view Bajawa yang sedang terbentang dihadapan saya, saat itu.
Memasuki kendaraan, sang adik melanjutkan, bahwa di tengan kota Bajawa, Mesjid Agung tepat berhadap-hadapan dengan Gereja Protestan. Mereka Nampak akur, demikian celoteh sang adik. Hahaha… karena dinginnya udara, makanya mereka tak ingin berjauhan, jawab saya pula, menimpali celoteh sang adik. Kami semua tertawa.
Benar, ternyata lima menit kemudian, saya menyaksikan sendiri Mesjid dan Gereja salin berhadap-hadapan, hanya dipasahkan jalan yang lebarnya kurang dari enam meter. Sebuah pemandangan yang langka, mengisyaratkan sebuah pesan bisu, bagaimana rukunnya antar umat beragama di kota Bajawa.
Nama Bajawa, menurut sejarahnya berasal dari kata Bhajawa, salah satu dari nama Kampung terbesar dari tujuh kampung yang berada di sisi barat kota Bajawa. Tujuh kampung yang disebut “Nua Limazua” tersebut adalah Bhajawa,Bongiso, Bokua, Boseka, Pigasina, Boripo dan Wakomenge.
Sedangkan sebagai ibu kota Daerah tingkat dua Ngada, didasarkan pada Undang-undang nomer 69 Tahun 1958, tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat II Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanggal 12 Juli 1958. Peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 1958.
Seorang adik lain, putra NTT yang bersama saya siang itu, menyatakan bahwa sejak dia tahu, kota Bajawa tidak mengalami kemajuan yang berarti. Itu artinya, sejak empat puluh tahun terakhir, Bajawa mengalami stagnan dalam perkembangannya. Meski pendapat demikian tidak seluruhnya benar.
Sepenglihatan saya, di sebelah Utara Pusat kota, sedang dibangun Kantor DPRD yang cukup refresentatif, Posisi Kantor DPRD itu, tepat di seberang kantor Bupati Ngada Jl.Soekarno-Hatta no.1. Di sebelah kantor DPRD, juga ada kantor Pos yang cukup baik kondisinya.