Pertengahan tahun delapan puluhan, saya setiap bulan mengadakan perjalanan antara Cirebon–Bandung. Perjalanan rutin yang disebabkan oleh kegiatan tugas. Perjalanan itu, berlainan dengan biasanya yang dilakukan teman-teman, saya lebih sering menggunakan sepeda motor, tepatnya sepeda motor Vespa. Perjalanan dengan sepeda motor, ketika itu, belum lazim dilakukan oleh para anak muda. Sehingga perilaku saya yang demikian, merupakan sesuatu yang aneh bagi teman-teman saya.
Biasanya, rute yang saya ambil, dari Cirebon, melalui Sumber, terus menuju Galuh, terus ke Majalengka dan dari Majalengka akhirnya perjalanan bertemu dengan jalan Raya Palimanan-Bandung di kota Kadipaten. Selanjutnya, sekitar dua puluh menit perjalanan dari Kadipaten, saya istirahat di tepian Sungai Cimanuk daerah Tomo yang ketika itu banyak warung-warung kaki lima. Beberapa panganan yang dijual warung tepi kali Cimanuk antara lain, kopi, kelapa muda dan beberapa jajanan khas Kadipaten. Hal ini, saya lakukan untuk menghindari istirahat di daerah Nyalindung yang banyak juga terdapat warung-warung, tetapi dengan konotasi “warung plus” atau “warung reman-remang”.
Belakangan, warung remang-remang itu, berangsur-angsur hilang setelah berdiri dengan Megahnya Mesjid Nyalindung. Agaknya, peribahasa lama, bahwa air dan minyak tak mungkin akan bersatu. Berlaku di daerah Nyalindung ini. Dengan terbangunnya Mesjid Nyalindung, perlahan-lahan warung remang-remang tutup dengan sendirinya.
Tempat istirahat selanjutnya yang merupakan tempat favorit saya, sebelum alun-alun Sumedang, dekat Lapas. Biasanya, setelah dari situ, sholat di Mesjid Agung Sumedang. Selesai semuanya perjalanan dilanjutkan hingga Bandung.
Namun, ada beberapa kali saya mengunjungi makam Cut Nyak Dien di pemakaman keluarga milik yayasan Pangeran Sumedang di Gunung Puyuh. Setelah kita memasuki komplek pemakaman, perjalanan sedikit menanjak, lalu sesaat sebelum memasuki Gerbang Makam Pangeran Soeria Kusumah Dinata atau juga dikenal Pangeran Sugih, Bupati Sumedang pertama, pada sisi kanan terdapat makam Sitti Saleha, Ibunda Bung Hatta.
Jika kita berbelok ke kiri dan menuruni jalan yang lumayan curam, tibalah kita di Makam Cut Nyak Dien. Makam yang sederhana, di pagari dengan besi dan ditutupi atap.
Namun, semua itu, kondisi dulu ketika saya sering kesana pada pertengahan delapan puluhan. Namun, ketika saya pada pertengahan Juni 2016 kembali mengunjungi makam Cut Nyak Dien, saya dibuat kaget. Semuanya sudah berubah.
Siapa Cut Nyak Dien.
“Disinilah dimakamkan Pahlawan Nasional
Tjut Nya’ Dien.
Isteri