Tanah merah masih segar, kayu nisan baru saja ditanamkan, bunga melati dan mawar baru beberapa menit lalu ditaburkan. Aku masih berjongkok disisi kubur, ketika sebuah tangan menggapai pundakku..
“Ayo ayah, kita pulang” bisik suara anakku lastri.
“Ya…nak” jawabku lirih, aku berdiri, mengiringi langkah lastri. Lastri berjalan didepanku, diantara sisi-sisi makam, selangkah dibelakangnya, langkah kakiku turut mengiringinya. Air mata ini, tanpa terasa menetes.
*****
Ini hari terakhir, takziyah di rumahku, mulai besok para tetangga tak akan ada lagi yang datang. Rumah ini akan sepi. Lastri mungkin lusa akan meninggalkan aku.
Beranda rumah sudah sepi, ada suara kaki seakan terseret di belakangku, aku tak menoleh, itu suara langkah lastri. Lalu diam. Suara itu hilang. Aku masih diam, tak menoleh. Lalu ada tangan dingin menyentuh pundakku, tangan dingin itu kuraih, kubawa ke depan, kuisyaratkan agar duduk di kursi di sebelahku.
“Ayah…” suara lastri lirih, matanya nanar menatap kedepan, tidak memandangku. Apa itu artinya lastri sedang menangis, atau tidak tega menatap wajahku.
“Ya…las…” jawabku lirih, aku memandang langit-langit beranda rumah, ada genangan yang terkumpul di kelopak mata, tak sampai jatuh.
“Besok lastri akan pulang…”
“Ya….”
“Lalu ayah bagaimana?”