Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penebusan Dosa

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penyeberangan antara Batam-Singapore bukanlah penyeberangan perdana bagiku, penyeberangan ini terlalu sering kulakukan, tiap saat, tiap ada keperluan. Tak siang tak malam. Namun, penyebrangan kali ini, agak berbeda dengan penyeberangan yang sudah-sudah. Karena Boss besarku menyuruh aku langsung ke rumahnya, bukan ke kantor sebagaimana yang biasa kulakukan.

Taksi yang kunaiki, kini sudah berada di West Coast Highway, kecepatannya tidak begitu tinggi, aku sengaja memperingatkan supirnya agar tidak ngebut. Prilaku yang khas prilaku Supir, takut ngebut ketika kendaraan tidak dikemudikan sendiri. Ada rasa kurang percaya pada supir lain.

Lalu, sebelum Keppel Viaduct Taksi berbelok ke kiri, memasuki Jalan Kampung Bahru Road, kecepatan taksi makin menurun, setelah melewati Mount Faber Road kembali taksi berbelok ke kiri memasuki daerah Telok Blangah Rise, akhirnya pada region 28 taksi berbelok ke kanan, tak lama kemudian, tibalah aku di rumah Boss besarku, rumah yang baru pertama kali ku kunjungi, rumah Tuan Wan Ahmad bin Wan Ramli.

Rumah besar itu terlihat sepi, seorang pemuda mempersilahkanku duduk di sisi sebelah luar, agar ke pinggir rumah, di depan garasi yang menempel pada rumah besar wan Ahmad. Tak berapa lama seorang PRT keluar membawakan segelas air + botol air mineral, tiba-tiba…………… darah ini berdesir kencang.

“Tini…” Reflek aku menyebut nama itu, air dan botol air mineral hampir saja jatuh. Kulihat Tini diam terpaku, agak menggigil. Keterkejutan yang luar biasa. Persis yang kualami.

“Hend…” katanya lirih. Tiba-tiba Tini sudah dalam pelukanku. Kami hanyut dalam pelukan, semua reflek, tanpa rencana, tanpa rekayasa. Tiba-tiba, ada penolakan yang kurasa dari Tini. Mungkin Tini sadar, kami berpelukan di ruang terbuka, dan posisinya yang riskan, hanya PRT. Lalu…. Pelukan kami merenggang. Aku berdiri terpaku.

“Duduk Hend..”kata Tini, setengah memerintah.

“Baik Tin..”

“Tini kemana aja, aku mencari kemana-mana, tapi gak ketemu..” kataku

“kamu yang kemana Hend..”

“Sesuai janjiku Tin, aku pulang kampung untuk datang lagi. Tapi ketika aku datang, Tini sudah gak ada, begitu juga ketika aku datang ke Kediri, ayahmu tidak mau memberitahu dimana Tini berada…”

“Tapi kamu datang terlambat hend, waktu itu aku bingung, waktu berjalan terus, perut ini gak bisa dibohongi hend, makin hari makin besar.

********

Tini adalah adikku kelasku ketika kami sama-sama satu sekolah di kota Gudeg, kami awalnya hanya pacaran, runtan runtun kemana-mana berdua, hingga akhirnya kutahu ini telah mengandung buah hasil cinta kami. Ketika Tini, mengutarakan apa yang dialaminya, dunia seakan runtuh. Aku sungguh bingung. Bagaimana reaksi keluarga jika mereka tahu anaknya telah menghamili anak gadis orang. Tetapi, tekadku bulat, aku akan mempertanggung jawabkan perbuatanku. Apapun resikonya. Tetapi aku juga tidak ingin durhaka pada orang tuaku. Maka, kuberitahukan keputusanku pada Tini, bahwa aku akan pulang dulu ke Tasik, memberitahu orang tua, bahwa aku akan menikahi Titin. Kutekankan bahwa ini, bukan minta ijin, tapi hanya pemberitahuan, diijinkan atau tidak, Titin akan tetap kunikahi. Untuk itu, aku berharap Titin untuk menunggu kedatanganku, lalu kami akan ke Kediri, ke Rumah orang tua Titin.

Tetapi, semua hanya rencana, kenyataan berbicara lain, orang tuaku meninggal dua hari setelah kedatanganku dalam sebuah kecelakaan, ketika itu, mobil yang ditumpanginya, masuk jurang di daerah Kawali, sebelum aku sempat mengutarakan niatku, sebulan kemudian, ibuku menyusul pada bencana longsor di desaku. Pagi itu, ketika aku pergi ke kota untuk mengurus pensiun bapak, ibu kulihat masih sehat dan segar bugar, kami masih sempat sarapan bersama. Tetapi ketika aku pulang lewat tengah hari, rumah kami telah hilang tertimbun tanah, ibuku tak sempat menyelematkan diri. Ikut tertimbun bersama rumah kami. Bencana yang beruntun itu, menyebabkan aku tertahan di kampung.

Ketika aku kembali, setelah dua bulan sejak aku meninggalkan Jogya, kudapati Tini sudah tidak ada, temen-temen gak ada yang tahu, ibu kost hanya memberitahukan kalau Tini kembali ke Kediri, siang itu aku ke Kediri, dan tiba di kampung Tini esok hari jam sepuluh. Tetapi semuanya nihil. Orang tua Tini tak mau memberitahukan keberadaan anaknya. Mereka tahu semua, tetapi pura-pura tidak tahu. Bahkan ketika kuberitahu maksud kedatanganku, mereka tak bereaksi sebagaimana mustinya orang tua. Apa mereka pikir aku terlalu muda, sehingga hanya akan membawa kesengsaraan bagi Tini.

Sejak itulah perjalanan panjang mencari Tini dimulai, aku singgah dari satu kota ke kota lain, dari satu Provinsi ke Provinsi lain, hingga akhirnya, aku terdampar di Batam, sebagai seorang driver. Kedatanganku ke rumah Tuan Wan Ahmad bin Wan Ramli karna beliau ingin membawaku ke Thailand sebagai supir pribadinya. Tetapi kedatangan yang pertama itu, ternyata membawaku untuk bertemu dengan wanita yang kucari selama ini.

***********

Telah enam bulan kami berkeluarga. Astuti buah cinta kami dulu sudah naik kelas dua SMA, aku benar-benar menjadi laki-laki utuh, mampu mempertanggung-jawabkan dosa masa lalu pada Tini, profesi supir yang dulu kugeluti kini berubah menjadi pedagang kecil di desa Tini, di lereng Gunung Kelud. Sempurna sudah kini kehidupan yang kujalani, ada rumah kecil hasil tabungan aku ketika masih kerja di Batam, ada warung kecil yang aku usahakan setiap hari sebagai hasil tabungan Tini selama di Singapore, ada Astuti yang merasa utuh karena kedua orang tuanya telah bersatu kembali, ada mertua yang sudah welcome menyambut kedatanganku sebagai bagian dari keluarga mereka.

***********

Tapi sekali lagi, perjalanan hidup penuh misteri, siang ini kami telah duduk di dek kapal yang akan membawa kami ke tanah seberang, tak ada Astuti, tak ada kedua mertua yang telah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri, tak ada rumah mungil itu, tak ada toko kecil itu, semuanya tuntas tandas ditelan bencana ketika kemarinKelud memuntahkan laharnya.

Aku masih memeluk Tini, tak ada kata yang terucap, semalam aku telah bercerita banyak pada Tini, bahwa kita akan meninggalkan seluruh masa lalu kita, bersama erupsi Gunung Kelud yang telah meluluh lantakkan orang-orang terkasih dan benda-benda yang pernah menjadi kenangan manis bagi kami berdua. Biarlah kami mencari penghidupan baru di tanah baru, memulainya semua dari nol. Mungkin, sebagai bentuk penebusan dosa-dosa kami di masa lalu.

“hend..”

“Hhmmmm”

Tak ada kata yang terucap, hanya ada dua tangan yang saling tergenggam erat, saling menguatkan, saling menyandarkan harap dan asa pada keduanya pada satu sama lain, pada tanah baru yang akan kami songsong, pada sesuatu yang kami tidak tahu apa bentuk dan rupanya kelak. Pelan-pelan kapal menjauh dari daratan, ada dua pasang mata yang menitikan cairan hangat, entah sebagai pertanda apa, apakah itu artinya sebagai bentuk keniscayaan, bila mungkin, kelak kami masih diberi kesempatan untuk kembali menjejakkan kaki ini disana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline