Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Kenapa Saya Tidak Menulis Capres

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada seorang teman yang tanya, kenapa saya tidak menulis soal Capres, padahal inilah momennya yang tepat, saat-saat menjelang pemilu caleg dan sebentar pemilu capres. Toh sahabat-sahabat kompasianer ada yang setia menulis tentang beberapa capres, mereka menelaah dan mengkajinya dari beberapa sudut dengan detail, dari beberapa sisi dari sang capres, dari kepribadian, dari prestasiyang sudah dicapai serta apa-apa yang diharapkan akan dicapai. Apakah itu capaian yang diperoleh partai atau oleh individu sang Capres sendiri.

Si A misalnya, rajin mempublish tentang calon Presiden Anu, segala macam kelebihan di ulas. Tak ada sesuatu yang kurang pada si Anu. Demikian juga si B, rajin menulis tentang kandidat Presiden Badu, tak ada satupun yang layak untuk memimpin negri ini selain Badu, rasanya krisis berkepanjangan yang dialami negri ini akan selesai jika kelak Badu yang menjadi nakhodanya. Demikian juga dengan si C, si D dan banyak lagi diantara kita. Kandidat yang diusung merupakan harga mati, jika negri ini akan maju.

Tak ada yang salah dalam menuliskan kelebihan kandidat yang kita usung, syah-syah saja, namanya juga sedang mengkampanyekan jagoan masing-masing. Masalahnya jadi tidak sederhana, ketika menulis kandidat yang diusung, terselip kalimat yang merendahkan kandidat lain. Track record kegagalan lawan dirinci dengan rincian detail, persis sama dengan gambaran detail, kesuksesan kandidat yang diusung. Kalaupun track record kegagalan lawan itu akurat, tetap saja tidak elegance jika disandingkan dengan capaian kandidat yang diusung. Jika tidak akurat, lebih parah lagi. Ini sebuah fitnah.

Turunan berikutnya, coba lihat komentar di sisi bawahnya. Luar biasa. Terasa aroma tidak suka pada kandidat tertentu, kajiannya dibuat panjang dan detail, meskipun kadang isi komen itu sendiri tak berhubungan dengan pokok isi tulisan yang “diposting” diatas. Sehingga ketidak sukaan pada kandidat tertentu, membuat isi komentar menjauh dari rasa adil dalam melihat masalah, tidak proporsional dan pokoknya dia benar-benar jelek dan patut untuk di Bully.

Akibatnya, menjadikan komentar sebagai alat untuk menuju capaian, apakah untuk menjunjung kandidat yang diusung atau untuk menjatuhkan kandidat lawan. Alih-alih menimbulkan pencerahan, ujung-ujung merendahkan si pemberi komen itu sendiri. Bukankah adagiumnya, semua kandidat itu manusia. Tak ada manusia yang sempurna, sehebat apapun kandidat kita, tetap memiliki sisi lemah. Demikian juga kandidat yang tidak kita usung, sejelek apapun dia, tetaplah dia memiliki sisi positif yang tidak dimiliki oleh kandidat yang kita usung. Mengapa kita tidak proporsinoal saja. Lakukan tulisan yang menjunjung kandidat yang kita usung setinggi langit tanpa menyebut sisi lemah kandidat yang bukan dari kubu kita. Demikian juga dengan komentar, lakukan saja pembenaran tentang hal-hal yang ditulis dengan memperkaya isi tulisan itu, tanpa mengkritik kandidat lawan. Tulis sekritis mungkin tulisan yang dipublish tanpa keluar dari masalah yang ingin disampaikan oleh sang penulis.

Jika tidak, saya kuatir akan terjadi hal yang tidak sehat, baik oleh penulis, atau oleh pemberi komentar, yang lebih parah lagi oleh sesama kompasianer. Tujuan kita berkumpul dan guyub di blog kroyokan inipun tidak tercapai. Sharing and connecting. Kampanye adalah waktu yang tertentu, sedangkan persahabatan waktu yang tak tertentu. Kampanye hanya sesaat, persahabatan berjuta saat. Jangan tukar waktu sesaat dengan berjuta saat.

Kenapa saya tidak menulis? Jawab dari pertanyaan ini, ada dua hal.

Pertama, saya type orang yang mengagumi seseorang dengan ala kadarnya saja. Pada awal-awal reformasi dulu, saya ikut salah satu Partai Politik, tujuan saya, saya tidak ingin berhura-hura dalam politik, tetapi ingin mencerdaskan anak bangsa dengan politik, anak bangsa menurut definisi saya, bukan hanya rakyat, melainkan, termasuk politikus itu sendiri, maka jadilah saya aktif di bagian Litbang. Dapurnya Partai Politik. Apa yang terjadi, hampir semua teman-teman, sangat terpesona dengan ketua umum. Ketua umum diposisikan tinggi banget, seakan tak ada lagi kelemahannya, tak tersentuh dengan hal-hal yang manusiawi. Ketua umum sempurna. Tanpa reserve. Semua program yang telah dikaji matang dan siap untuk dilaksanakan, akan mandeg hanya dengan satu kalimat dari Ketua Umum. Sayapun berhenti, hanya mampu bertahan di Litbang Parpol dalam kurun waktu enam bulan.

Kedua, apa yang kita baca dan dengar, tidak selalu menggambarkan hal yang sesungguhnya. Untuk sekedar mereview ingatan saja, saya akan mengajak pembaca untuk kembali pada tahun 2004, Di media social, Media Massa, Media elektronika, bagaimana riuh rendah persaingan antara kandidat capres pada pemilu Presiden tahun itu. Termasuk antara kandidat nomer 4 dan nomer 5 (SBY-JK vs Hamzah Haz-Agum Gumelar). Persaingan ini, hingga sampai akar rumput. Tetapi apakah hal demikian benar-benar terjadi pada sang kandidat?

Beruntung saya, sore itu menyaksikan pertandingan Bola Voley Internasional yang diselenggarakan di Istora Senayan. Diantara penonton yang hadir sore itu, SBY dan Agum Gumelar duduk bersebelahan, mereka tertawa-tertiwi sangat akrab menyaksikan pertandingan Bola Voley Internasional itu, sementara para lover dan hatter mereka di akar rumput saling berkelahi.

Itulah dua alasan saya, mengapa saya tidak menulis tentang kandidat Presiden untuk 2014.Peristiwa seperti yang dialami SBY dan Agum, bisa saja terjadi di tahun 2014 ini. Tentunya dengan versi yang lain, dengan Capres yang lain pula, tetapi dengan esensi yang sama.

Kalau demilkian halnya, pertanyaannya, dimana posisi kita saat itu? Persahabatan kita rusak karena “terlalu” mendukung atau “terlalu” tidak mendukung. Sementara mereka ber “hahaha-hihhi”.

Benar kata orang bijak, cintailah dengan sederhana saja, bisa jadi suatu hari dia akan menjadi musuhmu, bencilah dengan sederhana saja, karena bisa jadi, suatu hari dia akan menjadi kekasihmu.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline