Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Budi Juragan Tuyul

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa ada saja orang yang memelihara Tuyul? Jawabnya, tentu karena frustasi. Bisa karena kegagalan yang berulang-ulang, bisa juga karena frustasi menjalankan kehidupan dengan benar, lalu ambil jalan Pintas. Memelihara Tuyull.

Mengapa orang menjadi Juragan Tuyull, atau yang memperdagangkan Tuyull? Jawabnya Karena melihat peluang. Sesuai kaedah dagang, jika ada permintaan maka akan lahir mereka yang menyediakan jasa penyedia permintaan itu. Tulisan ini kisah nyata yang terjadi di kabupaten perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Karena Tugas yang harus dilaksanakan saya ditugaskan di daerah Kabupaten perbatasan itu selama dua tahun. Disela-sela kerjaan saya berteman dengan seorang pegawai kabupaten. Sebut saja namanya Budi. Lulusan perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah. Putra daerah yang cerdas, humoris. Pada saya, Budi pernah mengatakan, jika semuanya lancar, maka sekitar 3-4 tahun mendatang, dia akan jadi Camat. Saya katakan pada Budi, dengan kepintaran yang dimlikinya, maka kedudukan yang akan diraihnya tentu tidak akan sulit. Budi memang pintar dalam banyak hal. Pintar dalam akademis, dalam bergaul dan berorganisasi. Dan yang saya kagumi dari Budi, pandai melihat kesempatan.

Ketika itu, daerah tugas saya itu, terkenal dengan kemampuan putra daerahnya yang memiliki kekuatan supra natural. Pada masa awal-awal reformasi itu, banyak kalangan yang masih disibukkan dengan kesulitan ekonomi karena pengaruh krismon yang masih belum juga pulih. Politik boleh saja berubah, tapi kondisi ekonomi masyarakat masih terseok-seok. Bukan pemandangan luar biasa jika ada saja mereka yang mendatangi tempat-tempat keramat untuk meminta sesuatu yang diluar nalar manusia. Melihat kondis yang demikian, Budi, teman saya yang cerdas itu, mencium aroma sesuatu yang dapat dijadikan uang. Caranya? Dengan menjadi makelar Tuyull.

Awalnya, Budi mengajak saya untuk bekerja sama dengannya, untuk mengerjakan “Proyek” yang akan mendatangkan uang ini. Alasannya cukup masuk akal. Mereka yang akan menjadi “customer” adalah mereka yang nalarnya sudah tidak beres, tidak rasional dan frustasi. Semua nasehat untuk kesesatan yang mereka kerjakan, tentu tak akan didengar lagi. Maka cara jitu untuk membuat mereka Insyaf, mereka kita kerjain sekalian aja. Dengan membenturkan khayalan yang bertolak belakang dengan kenyataan, diharapkan mereka Insyaf. Demikian alasan Budi. Mendengar itu, saya hanya tersenyum, ada kebenaran dalam ucapan Budi, tetapi dengan memanfaatkan “customer” untuk keuntungan pribadi, rasanya, bukan sesuatu yang benar juga. Saya katakan pada Budi, saya tidak ikut dengan “proyek” itu, tetapi, saya juga tidak akan menghalang-halanginya.

Mulailah, proyek itu dikerjakan dengan matang. Caranya, mulai dengan mendekati Tukang Becak dan beberapa supir angkot. Pada mereka diminta untuk mempromosikan bahwa di daerah “anu”, tempat yang kita sepakati untuk operasi jual-beli Tuyull, ada orang pintar yang bisa menjual Tuyul. Dengan cara ritual tertentu, garansinya sampai berhasil, jika gagal, maka ritual berikutnya, tidak dipungut biaya lagi, alias gratis. Untuk setiap orang yang berhasil dibawa pada Budi, mereka (supir angkot atau Tukang Becakk) mendapat sejumlah nominal tertentu. Tak perduli, apakah kelak, transaksi itu terjadi atau batal.

Sore itu, masuk sms, kalo malam nanti akan ada pasien yang akan datang, Budi segera menghubungi saya. Lalu kami menuju rumah yang akan djadikan praktek. Rumah itu tak jauh dari kuburan yang cukup terkenal, sebelah kiri jalan ketika kita akan masuk kota dari arah Jakarta. Budi segera masuk rumah dan mempersiapkan segalanya. Sedangkan saya duduk di luar, seakan antri untuk menjadi pasien Budi. Tak berapa lama, datang pasien yang ditunggu dengan diantar Tukang Becak. Saya kenal dengan Tukang Becak itu, demikian juga dengan Tukang Becak itu. Mengenal saya.

“Ada, Eyang Mangku Bumi pak?” Tanya Tukang Becak pada saya.

“Adamas.. saya juga sedang menunggu panggilan” Jawab saya singkat.
“oooo… saya masuk dulu, kasihan tamu saya dari jauh”

“iya… silahkan” Tukang Becak itupun masuk, saya masih duduk di luar. Tak berapa lama, Tukang Becakk keluar, menyuruh saya dan tamu itu masuk.

Budi, bertanya pada saya, darimana, lalu saya menyebut suatu nama tempat, yang berjarak 40 Km jaraknya dari lokasi kami duduk. Sang tamu menyebutkan nama tempat, yang berada di Provinsi sebelah. Lalu, Budi menjelaskan bahwa tamu jauh, lebih berhak didahulukan dibanding saya yang berjarak dekat.

Sayaratnya, bapak harus puasa selama tiga hari, hari pertama dimulai dengan sahur biasa. Pada waktu jam 3 siang, lalu puasa dimulai setelah waktu Ashar datang, lalu berbuka besok hari dengan nasi putih dan air putih pada saat Ashar datang, selesai berbuka dengan air putih dan nasi putih, puasa dilanjutkan kembali, demikian hingga hari ketiga. Memasuki hari ketiga, saya akan bawa bapak ke kuburan yang berada di belakang rumah ini. Disaat itu, bapak tidak diperkenankan untuk tidur, usahakan mata tetap melek, jangan tertidur. Untuk tidak tidur, silahkan baca apa saja. Ketika subuh menjelang hingga pagi datang, sekitar setengah lima hingga jam 6 pagi, maka sang Tuyul akan melintas di depan bapak. Saat itulah bapak harus menangkapnya. Jika bapak berhasil menangkapnya, maka rezeki bapak, tetapi jika gagal, maka bapak harus kembali lagi dilain waktu untuk mengulangi ritual yang sama. Saya tidak dapat menemani bapak dihari ketiga itu, karena saya juga harus wirid semalam suntuk, agar bapak sukses. Bagaimana pak? Sanggup? Tanya Budi, setelah menjelaskan panjang lebar.

Sanggup Eyang, jawab sang tamu mantap.

Lalu, Budi menyebutkan sejumlah nominal uang, sang tamu setuju, uang langsung diserahkan sang tamu pada Budi. Pada saya, Budi menyatakan, bahwa giliran saya baru bisa dilaksanakan bila acara ritual tamu yang datang dari jauh telah selesai dilaksanakan.

Singkat cerita, memasuki hari ketiga, saya liat sang tamu sudah lemes, maklum hanya makan nasi putih sekepal dan segelas air putih, apalagi malam nanti dia akan begadang semalam suntuk. Pagi itu, sekitar jam lima, selesai memandikan ponakannya yang nakal itu, Budi memoles seluruh badan ponakannya dengan bedak putih, lalu dengan sedikit uang, Budi menyuruh ponakannya untuk ke rumah uwaknya yang berada di seberang kuburan itu. Pesan Budi, jika nanti ada orang yang mendekat atau mengejarnya, maka kamu harus lari sekencang mungkin. Itu orang jahat. Ingat ya, sekarang musim culik. Ponakan Budi hanya cengengesan mengiyakan apa yang dikatakan Budi.

Dari balik rumah, kami melihat ponakan Budi mulai berjalan, ketika baru saja melewati tempat sang tamu, yang semalaman begadang, saya lihat sang tamu mendekati ponakan Budi, mungkin dalam pikiran sang tamu, inilah Tuyul yang dimaksud itu. Menyadari ada orang mendekat, lalu ponakan Budi mempercepat langkahnya, lalu tamu itupun mempercepat langkah juga, akhirnya ponakan Budi lari, tamu itupun lari mengejar. Terjadilah kejar-kejaran antara ponakan Budi dan Tamu. Tak lama memang, sebelum akhirnya ponakan Budi hilang dari pandangan Tamu.

Masuk akal memang, apalah tenaga yang tersisa, yang dimiliki “tamu” setelah tiga hari puasa mutih ditambah begadang semalam suntuk. Dengan wajah sendu, sang tamu, memasuki ruang praktek Budi, melaporkan bahwa dia telah berhasil mengejar sang Tuyul, tapi sayang, Tuyul belum berhasil ditangkap. Dengan wajah penuh simpati, Budi membesarkan hati sang tamu, bahwa dia harus sabar, belum waktunya mendapatkan Tuyul, untuk itu, sesuai perjanjian semula, Budi masih membuka pintu untuk melakukan ritual serupa dimasa mendatang dengan tanpa dipungut biaya alias gratis.

Setelah tamu pulang, Budi saya lihat senyum puas, telah berhasil memperdaya orang frustasi yang meninggalkan nalarnya. Saya tidak pernah melihat tamu itu kembali untuk mengulangi ritualnya, setidaknya sampai saya berpisah dengan budi enam bulan setelah kejadian itu.

Dua bulan lalu, ketika saya makan nasi Jamblang, di seberang Mall yang cukup megah di kota tempat kejadian ini berlangsung, saya kembali dipertemukan dengan Budi, dia datang dengan kendaraan dinasnya, ditemani dengan Sekcamnya. Kini Budi sudah jadi Camat, bahkan, menurut Budi, sebentar lagi akan dipromosikan untuk menjadi Kepala Dinas. Saya awalnya, akan membicarakan nostalgia kami tentang Juragan Tuyul, tapi kondisi restaurant yang ramai dan disisi Budi ada Sekcam saat itu, membuat saya mengurungkan niat itu. Biarlah cerita Juragan Tuyul itu, hanya kami berdua yang tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline