Lihat ke Halaman Asli

Hhujan ke-13 di Bulan Juni

Diperbarui: 28 Juni 2021   14:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika pada umumnya orang menanti dan memuja hujan pertama di bulan Juni, tidak demikian dengan Juniati. Ia selalu menanti hujan ke tiga belas di setiap bulan Juni dengan jantung berdebar seperti dentum speaker di tempat orang hajatan. Ya, benar, hujan ke tiga belas!

Bukan karena Juniati dilahirkan di bulan Juni, melainkan ada hal istimewa yang dinantinya, seseorang yang menjanjikan datang menemuinya di hujan ke tiga belas di bulan Juni. Lelaki itu, Junianto namanya. Ia bertemu dengannya di sebuah perhelatan Juni-Juni, perkumpulan khusus orang-orang bernama Juni yang dilahirkan di bulan Juni. Perhelatan seperti ini di kemudian hari diikuti dengan perkumpulan Agus-Agus, sama, khusus untuk orang bernama Agus yang dilahirkan di bulan Agustus.

Di perhelatan itu, Juniati berkenalan dengan seorang lelaki tampan berwajah tirus. Garis mukanya sangat tegas. Matanya setajam elang. Senyum yang keluar dari bibirnya yang menghitam oleh isapan rokok itu sangat menawan. Sedikit kata saja yang keluar. Irit, malu, atau risih. Entah. Yang jelas, hati Juniati langsung tertaut dalam pandangan pertama, dalam detik pertama.

Tak ada percakapan yang mengarah ke manapun. Mereka hanya bertukar nama saat berjabat tangan sebelum dimulai acara. Selanjutnya hanyalah diam, diam-diam berkelana dalam alam khayal. Juniati mengkhayal, lelaki itu mendekat, duduk di sampingnya.

"Adakah ruang di hatimu tersedia untukku?" Junianto menggenggam jemari Juniati. Tangannya kasar khas lelaki. Tapi ia suka, menandakan ia lelaki sejati yang tangguh, bukan lelaki yang menyek dan manja.

"Aku sudah tak punya hati. Ia dibawa pergi ke negri yang jauh. Aku tak pernah merasakannya lagi."

"Hati itu sudah pulang, sekarang. Rasakanlah."

Junianto mengambil tangan Juniati, menuntunnya ke perutnya, sedikit menekan. Juniati memejamkan mata. Ia menghirup napas dalam. Jiwanya serasa ringan. Ia bisa merasakan setiap aliran darahnya. Ia mendengar detak jantungnya. Ia merasakan gerakan lambungnya. Ia merasakan ... Ada hati lengkap dengan empedu yang menempel padanya. Ia menjerit bahagia. Dipeluknya lelaki itu dengan derai air mata suka-cita.

"Terima kasih, Junianto."

Lalu keduanya terlibat dalam percakapan romantis sepasang kekasih. Bicara tentang masa depan. Rumah kayu kecil di atas gunung berpayung awan. Selusin anak yang menghela kambing di padang rumput luas membentang.

Perhelatan selesai. Lamunan Juniati ikut selesai. Para peserta membubarkan diri. Pun Juniati. Tapi urung, hujan turun dengan deras sepanjang perhelatan belum juga reda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline