Lihat ke Halaman Asli

Nyanyian Fajar

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan ini mengungkap perjuangan seorang pemuda asal Papua  untuk meraih gelar sarjana! dan telah dibukukan.

Segelas Air Putih

S

ore menjelang. Yusuf, lelaki muda berkulit hitam seperti umumnya pria Papua muncul di hadapan saya. Terse-nyum, menampakkan giginya yang putih ber-deret. Ia tersenyum bukan hanya dengan bi-birnya, tetapi juga lewat matanya.

Jabatan tangannya yang erat menyiratkan semangat hidupnya, atau, boleh jadi itulah ukuran kekuatannya sebagai seorang lelaki muda. Sore itu ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna kuning muda, dipadukan dengan celana panjang jeans. Saat masuk ke ruang tamu ia copot sepatunya yang nampak kusam. Saya perhatikan dengan seksama sambil bertanya dalam hati. Apa gerangan yang membuat salah seorang keluarga saya memaksa untuk menjumpainya. Mewawan-carainya. Memaksa dengan penekanan, tak

lagi memberi saya kesempatan untuk berta-nya. Siapa? Mengapa? Apa? Tiga kunci dasar dari ketertarikan saya untuk menjumpai seseorang.

Yusuf duduk di sisi kiri saya, di sofa ber-warna coklat muda. Saat itu saya sedang terserang flu skala delapan, artinya cukup parah. Hidung saya tersumbat, kepala saya sedikit pening. Batuk? Saya berjuang keras untuk menahannya, karena akan sangat merusak keheningan sore yang indah. Dengan kondisi seperti itulah saya "wajib" menjumpai Yusuf.

Ah, Yusuf jangan tambah pening ini dengan cerita yang biasa saja. Jangan tambah derita saya bila kisahmu tak lebih dahsyat dengan kisah seribu manusia di luar sana. Itulah permohonan saya, dalam hati. Cukup dalam hati. Tentunya dalam kondisi sakitpun nurani saya tetap bekerja sempurna. Maka basa-basi kemudian tetap muncul sebagai pembuka, memberi ruang bagi inti kisah yang sesung-guhnya. Lelaki muda di hadapan saya ber-cerita dengan suaranya yang tegas, kadang berlogat Jawa, lucu juga.

Satu jam berlalu tanpa terasa. Dua jam lewat kepala saya mulai tak nyaman. Penyebabnya, posisi duduk saya menyamping. Maka saya secepat kilat "meloncat" ke sofa yang lang-sung berhadap-hadapam dengan Yusuf. Nah, dengan begitu terasa jauh lebih nyaman, kepala tak perlu meno-leh.

Tepat di hadapan saya Yusuf melanjutkan ceri-tanya. Tentang masa la-lunya, tentang kehidup-annya, tentang cita-ci-tanya, tentang perjuang-annya. Semua tentang dirinya yang ternyata mampu membuat saya menitikkan air mata, bergantian dengan derai tawa lantaran terselip kisah sedih yang menjadi lucu bila dikenang.

Kisah Yusuf adalah kisah anak muda yang tak biasa. Sebagai lelaki berdarah Papua ia melihat satu persatu temannya mati disebabkan alkohol. Sebagai lelaki berdarah Papua ia rasakan beban berat untuk merengkuh mimpi menjadi sarjana. Sebagai lelaki berdarah Papua ternyata ia tak setangguh seperti yang dibayangkan. Sebagai lelaki berdarah Papua ia harus kembali pada akar bila rindu melihat pohon besar itu tum-buh perkasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline