Lihat ke Halaman Asli

Ismail Wekke

Warga Kota Sorong, Papua Barat

Masihkan Ada Harapan Untuk Kabinet Jokowi?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini perbincangan kecil usai shalat shubuh di Mayamuk, harga besarmencapai 120.000/10 kilo. Walaupun mahal tetap saja harus dibeli. Warga panti asuhan harus makan. Tidak ada kata mahal. Mbak yang membantu tukang masak sambil berjalan keluar masjid berkomentar "inilah resiko memilih Jokowi menjadi presiden". Saya tidak mengomentari itu. Hanya saja, soal harga beras ini membuat pusing. Harga beras naik sementara pembayaran iuran tidak pernah dinaikkan.

Inilah yang menjadi tantangan, seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru justru kenaikan harga baru juga terbentuk. Kenaikan harga BBM, lalu diikuti gas, demikian pula dengan kebutuhan lainnya. Termasuk juga listrik. Sejatinya, pemerintah perlu menjamin kesejahteraan rakyat yang indikator utamanya sederhana bisa makan dan sekolah. Bagi yang sudah sekolah bisa kerja dengan mudah sesuai dengan keterampilan yang dipelajarinya.

Hanya saja, harapan-harapan itu belum dapat terwujud. Harga melambung sementara kesempatan berusaha semakin susah. Di pemerintahan sebelumnya ada beras untuk rakyat miskin yang diberi nama raskin, tetapi sekarang dihilangkan. Biasanya warga panti akan mendapatkan itu. Beberapa pengasuh senang saja makan di dapur bersama warga karena itulah beras non-kolesterol. Guyonan kawan-kawan kadang memang selalu menghibur.

Di sekolah kami sebelumnya dilarang untuk rapat di hotel. Akhirnya dilaksanakan di sekolah, akibatnya seperti biasa susah ngumpulnya. Kalau di hotel bisa dilaksanakan tepat pukul 8 pagi karena tidak memerlukan perjalanan dari rumah ke sekolah. Sementara kalau di sekolah kadang terhambat hujan. Yang namanya hujan kalau di kota Sorong, tidak bisa ditebak. Maka, di sini itu tidak ada ramalan cuaca, karena untuk apa alat itu ada? listrik saja kadang mati. Akhirnya, larangan itu dicabut juga. Pernah juga terpikir untuk melakukan pembangkangan sipil, tapi biarlah begitu adanya.

Kabinet ini sudah sekitar satu semester lebih. Kalau di bangku kuliah, maka sudah perlu diberikan nilai. Hanya saja, apa tolok ukurnya ya? minimal harga-harga keperluan pokok sehari-hari. berarti tidak luluslah ini kabinet. Apa mungkin dilakukan pergantian ya?. Sementara beberapa kementerian yang berubah nama atau melakukan penggabungan juga belum kelar-kelar juga untuk melakukan restrukturisasi. Sehingga program belum jalan. Masalah lagi ini.

Kalau menggunakan pertumbuhan ekonomi, maka sepertinya kabinet gagal ini. Celakanya, media kita susah menjelaskannya. Ada televisi yang hanya mendukung, televisi lain hanya menjadi corong pemilik partai. Ada juga yang hanya menyiarkan kepentingan pemilik. Sepertinya pilihan saya untuk tidak membeli televisi sejak 2010 sudah tepat,  faktor utamanya karena tidak punya juga. Bukan karena siaran saja.

Ada lagi ini, ketika AirAsia yang kecelakaan, maka mentri yang mengurusi pesawat kemudian bertindak galak. Sementara kalau Singa Air yang melakukan bahkan ditalangi, Selama kekacauan di bulan Februari tidak ada teguran. Padahal, dampaknya ada yang sampai batal menikah gara-gara Singa Air tidak terbang.  Bukannya ditegur justru dibantu. Sebuah keberpihakan yangs angatbagus, atau mungkin karena sang pemilik adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA)?. Entah, saya tidak mampu menjawabnya.

Ini lagi, soal anggaran. Tidak boleh melakukan perjalanan. Pos kegiatan yang menggunakan pesawat dipotong habis-habisan. Akibatnya, urusan nara sumber di sekolah jadi terhambat. Katanya sih penghematan biaya perjalanan dinas. Padahal, bisa saja kalau sekolah. Namanya kegiatan lintas sekolah tentu perlu pesawat. Hanya saja, digeneralisasi. Beginilah akibatnya, jadi susah juga. Karena tidak ada kesalingfahaman.

Semoga di bulan-bulan mendatang, kabinet semakin menyatu dan padu bekerja. Terlalu lelah kalau harus buat kabinet baru lagi, karena akan ada seremonial pergantian yang biayanya jauh lebih mahal. Yang sudah duduk di kabinet bekerja dengan baik saja itu sudah cukup. Nanti kita pemilihan presiden 2019 lagi. Tidak perlu sekarang. Selamatbekerja, kabinet kerja. Bukan selamat mencitrakan diri kabinet citra.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline