Lihat ke Halaman Asli

Ismail Wekke

Warga Kota Sorong, Papua Barat

Thailand: Tanah yang Tak Pernah Terjajah

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara ini, bukanlah negara kecil baik dari geografis maupun prestasi. Kalau ke supermaket, coba lihat pula beras yang dijual, selalu saja ada beras Thailand. Juara SEA Games 2013 kembali dikuasainya. Hanya ketika tuan rumah di Indonesia 2011, juara umum direbut tuan rumah. Tapi kalau dilaksanakan di luar Indonesia, sebagian besar Thailandlah yang merajai.

Padahal, tensi politik selalu tinggi. Sepanjang 2013 demonstrasi kaos kuning penentang Thaksin selalu saja turun ke jalanan untuk menentang kebijakan kabinet. Namun, pembinaan olahraga tidak terabaikan. Lalu lihat KONI dan KOI di tanah air kita, entah karena apa. Merea berselisih. Akibatnya, urutan keempat di Asia Tenggara setelah Thailand, Myammar, dan Vietnam. Ini sebuah tanda-tanda yang perlu diwaspadai. Dalam kancah regional, ternyata kita bukan lagi nomor dua, tetapi hanya nomor empat.

Di ibukota Thailand, Bangkok saat ini saya duduk memperhatikan lalu lalang penduduk kota (10/1). Stasiun Phaya Thai yang menjadi pemberhentian terakhir kereta ekspress dari bandara Suvarnabhumi. Awal kali bandara ini dibuka belum ada kereta langsung, setelahnya 2011 dalam kunjungan ke sini sudah ada Rail Link, 2014 ini sudah ada dua jalur. Betapa Thailand mempersiapkan infrastruktur begitu cepat.

Menerawang jauh di sana, tanah air ku, Indonesia. Pada saat tidak ada penambahan fasilitas apa-apa yang berarti dari bandara Soekarno-Hatta. Justru yang membuat heran, penundaan penerbangan berkali-kali terjadi karena kepadatan dan juga runway bandara yang melebihi kapasitas yang ada. Selalu saja kita gagal untuk belajar dari keunggulan bangsa lain, akibatnya hanya menjadi kaki tangan imperialisme ekonomi.

Maka, saat ini bukan lagi tentang penjajahan secara fisik. Tetapi lihat dalam bidang ekonomi, budaya, dan sosial. Barang apa yang diproduksi di Indonesia? Semuanya sudah dikuasai asing. Bahkan beraspun lebih murah dan lebih enak yang berasal dari Thailand. Belum lagi manufaktur eletronik yang juga dari sini. Gula pasir, lebih murah dari Malaysia, sementara lahan tebu mereka berapalah luasnya dibanding potensi penanaman tebu yang ada di seentaro Indonesia. Buah-buahan justru dikirim dari China. Sapi dari Australia. Susu dari Selandia Baru. Benar-benar kedaulatan Indonesia yang tidak lagi bertepi.

Begitu melihat tayangan televisi, acara di SCTV mengadopsi Filipina, begitupun artisnya juga dari sana. Sinetron Korea, kartun Jepang, film India, box office Hollywood. Sementara televisi tidak lagi menjadi sarana edukasi. Hanya menjadi hiburan yang tidak ada orientasinya. Saling mengejek, menyemprotkan bedak, aib rumah tangga, dan pergunjingan, semuanya menempati waktu dimana anak-anak kita menonton.

Penjajahan Belanda dan Jepang sudah lewat. Tetapi penjajahan yang lain justru lebih parah. Tetapi karena tidak kasat mata, maka tidak dipedulikan. Gas alam yang diproduksi di Bintuni, Papua Barat justru tidak dinikmati rakyat Indonesia. Dikirim dengan alasan ekspor. Padahal, pulau di sebelahnya gelap gulita. Penduduk Babo hanya melihat lalu lalang petinggi LNG Tangguh menggunakan fasilitas kelas utama. Sementara mereka beralas kakipun tidak dipunyai. Negeri yang meagung-agungkan investor perusahaan multinasional, sementara rakyat terbiarkan.

Pada Thailand kita harus melihat, bagaimana penjajahan fisik tidak pernah mereka alami, apalagi penjajahan kebudayaan. Ada tuga tempat utama dalam masyarakat, Budha, Raja dan Guru. Mereka memuliakan ketiganya sebagai sumber inspirasi kehidupan. Huru-hara politik dengan eskalasi tertinggi sekalipun akan reda jikalau Raja sudah meminta kedua belah pihak yang berseteru untuk berunding. Ketika demonstrasi penentang pemerintahan berlangsung, mereka menghentikan demo dan membersihkan kota karena akan menyambut ulang tahun raja. Mahasiswa dengan mudah diatur, sampai pada soal pakaian sekalipun. Kewajiban untuk memakai seragam baju putih dan celana ataupun rok hitam juga dijalankan di perguruan tinggi. Potongan rambut diatur. Maka, tidaklah mengherankan kalau Thailand menempatkan Chulalongkorn, Mahidol, Prince of Songkla, menjadi universitas kelas dunia. Padahal, bahasa Inggris lisan mereka tidaklah sememadai pengucapannya jika dibanding dengan akasara Thailand yang tidak semua huruf latin dapat dilafalkan.

Kemerdekaan sesungguhnya barang yang langka, tetapi dengan kemerdekaan untuk berfikir dan memerdekakan diri dari penjajahan kebendaaan justru harus diutamakan. Menjadi diri sendiri adalah sebuah kebutuhan saat ini. Inspirasi dari Soekarno, kebudayaan dengan jati diri sendiri. Kalau ini bisa dilakukan, maka aspek kehidupan lain segera juga dapat ditangani.

Thailand bisa memajukan diri salah satunya karena mereka tidak pernah terkungkung kepada bangsa lain. Budaya yang ada, selalu bersumber dari lingkungan dan dipraktikkan ratusan tahun yang lalu. Warisan nenek moyang dijadikan sebagai pegangan. Sementara keterbukaan terhadap ide-ide baru juga sellau diadaptasi. Walaupun menerima tamu asing yang liberal, mereka tidak pernah menjadikan itu sebagai acuan kehidupan. Entah apa namanya, tetapi saat pukul 18.00 dikumandangkan Lagu Kebangsaan, semua orang berhenti dari aktivitas termasuk wisatawan asing sekalipun dan berdiri tegak mengheningkan cipta menyimak lagu itu.

Kemerdekaan yang hakiki adalah justru kemauan membebaskan diri dari nafsu kebendaan dan keserakahan. Begitulah pandangan dalam Budha sehingga mereka dua kali dalam kehidupan harus menjalani status sebagai monk. Meninggalkan semua kehidupan duniawi dan hanya berbekal lembaran kain. Memegang sebuah mangkuk yang bukan untuk meminta-minta. Memangkas rambut, menyandang pakaian, melepas alas kaki, dan meninggalkan sanak keluarga, semuanya dilakukan untuk mencari makna kebebasan dan ketiadaan. Pada sebuah pencarian jati diri itulah kemudian akan timbul inspirasi untuk menjalani kehidupan berikutnya. Sebuah kemauan untuk terus belajar, bahwa tidak pada tempatnya manusia menundukkan diri pada benda-benda, kecuali pada Pencipta Alam Semesta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline