Lihat ke Halaman Asli

Ismail Wekke

Warga Kota Sorong, Papua Barat

Anak Yatim Pun Jadi Atraksi Wisata

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13899534711461586058

[caption id="attachment_316494" align="aligncenter" width="640" caption="Tayangan Televisi tentang Kunjungan ke Panti Asuhan"][/caption]

“Kreativitas” dalam menciptakan destinasi wisata tak terbatas. Di Kota Phnom Penh, salah satu tawaran para biro perjalanan wisata adalah “visit an orphanage”. Tidak melulu tentang kemegahan, sepertinya kemiskinanpun dapat dijadikan sebagai sebuah atraksi. Dalam brosur King Guest House & Spa, penjelasan singkat diberikan bahwa ada pilihan City Tour dengan perjalanan ke Orphanage. Datang ke panti asuhan yang dikelola lembaga setempat, berphoto sekaligus melihat aktivitas yang dijalankan anak-anak itu, selanjutnya memberi sumbangan lalu pergi.

[caption id="attachment_316498" align="aligncenter" width="640" caption="Tawaran dari Biro Perjalanan untuk Paket ke Panti Asuhan"]

13899539311593654354

[/caption]

Sepertinya kunjungan ini mengeksploitasi anak-anak, kalau tidak dikatakan sebagai pajangan semata. Wisata dalam arti khusus memberikan kesempatan untuk menyegarkan pandangan. Dalam posisi wisatawan mungkin iya, tetapi masalahnya terletak pada anak-anak “yatim” ini. Keluar dari National Museum Phnom Penh kemudian saya mendapatkan brosur lain, peringatan dari LSM internasional untuk tidak melayani tawaran destinasi wisata seperti ini.

[caption id="attachment_316495" align="aligncenter" width="368" caption="Brosur Kampanye "]

1389953530352531107

[/caption]

Justru kedatangan wisatawan akan memberikan dampak buruk bagi perkembangan jiwa anak-anak. Bahkan mereka hanya dijadikan “yatim” dalam arti atraksi, padahal 80% dari mereka masih memiliki orang tua. Friens International, ChildSafe Network, dan Unicef menyelenggarakan kampanye “Children are not tourist attractions”. Dalam laporan bersama ketiga lembaga tersebut justru terungkap fakta yaitu sejak 2005 jumlah status “yatim” justru meningkat, padahal sepatutnya dengan pelbagai program yang berjalan diharapkan ada penurunan angka. Lembaga ini juga mempertanyakan kembali komitmen para wisatawan bahwa dengan mengunjungi mereka, seolah-olah seperti pajangan di museum yang diphoto dan kemudian dieksploitasi dalam berbagai gambar. Padahal, mereka tetaplah manusia yang juga memerlukan privasi.

[caption id="attachment_316496" align="aligncenter" width="297" caption="Program Pemberdayaan Anak Jalanan"]

1389953577489012814

[/caption]

Untuk itu, dengan jaringan kelembagaan yang dimiliki, tak jauh dari National Museum didirikan sebuah tempat pelatihan bagi anak-anak. Beberapa program yang dilaksanakan antara lain pelatihan pembuatan kerajinan tangan yang kemudian dijual di showroom. Bahkan hotel seperti InterContinental menyediakan ruangan pajangan khusus untuk kerajinan tersebut. Terdapat empat pusat pelatihan bertempat di Phnom Penh, Romdeng, Sihanoukville, dan Siem Reap. Penjualanpun juga sudah mencapai enam tempat dan semuanya berlokasi di tempat utama.

Pelatihan untuk pemuda jalanan dilaksanakan dengan membuka restoran. Mereka dilatiha memasak dan menyajikan makanan itu dengan standar internasional. Setelahnya, mereka dapat memulai sebuah bisnis baru dalam industri makanan dan minuman. Upaya ini dipandang sebuah usaha yang tetap mempertahankan sisi kemanusiaan mereka, dibandingkan jika hanya ditempatkan dalam panti asuhan.

[caption id="attachment_316497" align="aligncenter" width="634" caption="Kegiatan untuk Pemberdayaan Ekonomi"]

13899536421496169618

[/caption]

Sebuah pusat pelatihan juga dibuka khusus untuk perawatan kecantikan yang diberi nama Nailbar. Di tempat ini berbagai layanan disediakan sambil tetap melatih kemampuan gadis-gadis itu, seperti manicure, pedicure, foot massage, fingernail & toenail painting. Dibuka sejak jam 11 pagi sampai jam 9 malam. Lulusan pelatihan ini kemudian direkrut oleh salon-salon yang mendukung kegiatan ini.

Untuk memperluas akses maka lembaga ini melancarkan sebuah kampanye ChilSafe. Hotel, restoran, ojek, dan tuk-tuk yang memasang logo ini merupakan jaringan yang turut mendukung kelangsungan program. Mereka menyisihkan sebagian laba untuk turut mendukung pelaksanaan program pelatihan dan mempekerjakan alumninya.

Sepertinya memang tidak elok untuk menjual kemiskinan, tetapi usaha untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan tetap perlu dilakukan dengan usaha yang bermartabat. Dengan menjadikan mereka bagian atraksi tetap saja tidak akan membangun harga diri. Sebaliknya dengan memberikan pelatihan, kemudian mempekerjakan mereka sesuai dengan keterampilan yang dilatihkan akan menumbuhkan harapan hidup sekaligus membentuk individu yang tidak lagi meminta tetapi justru bangkit dan kemudian mendukung kegiatan ini berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline