Masih perlu istirahat, saat itu baru saja kembali dari Kuala Lumpur. Bersama dengan kolega di kampus menyelesaikan seminar dan persiapan kerjasama perguruan tinggi dengan negara tetangga. Singapura, Malaysia dan Thailand yang menjadi tujuan perjalanan. Barang masih teronggok. Sesudah shalat maghrib memindahkan baju kotor ke keranjang cucian. Satu-persatu diangkat. Karena ini perjalanan kesekian kalinya, maka sepertinya tidaklah istimewa. Tetapi karena bersama dengan beberapa dosen dan pimpinan perguruan tinggi, perjalanan terasa lebih menyenangkan. Obrolan lebih banyak pada sekitar bagaimana menggerakkan sebuah perguruan tinggi.
Telepon berdering, lalu saya mengambilnya di kamar. Muddassir, atau akrabnya dipanggil Arie memberikan pesan untuk pulang ke Camba. Tapi belum selesai berbicara terputus. Maka, saya menunggu telepon berikutnya. Telepon kembali berdering “sebaiknya pulanglah dulu ke Camba!” saran Arie di ujung telepon.
Tiba-tiba istriku sudah berseru dengan tangis yang tertahan “mama aji sudah tiada”. Saya hanya bisa menahan tangis sembari menyahut “itulah takdir Tuhan yang tidak dapat dielakkan”. Segera menelpon Daeng yang menjadi langganan taksi beberapa kali. Dia lagi tidak mengantar penumpang sehinga saya memintanya untuk segera datang, mengantar kami ke kampung, sekitar delapan puluh kilometer lebih dari Makassar.
Perjalanan senyap, tidak banyak perbincangan. Bersama dengan mertua, beliau berdua menemani perjalanan yang rasa-rasanya tidak nyaman dikenang. Setelah menjelang tahun kelima, kekuatan untuk menuliskan baru mulai bangkit. Itupun lebih banyak berhenti karena tidak mampu meneruskan ketikan ini.
Hujan mengiringi perjalanan itu. Sepanjang Makassar ke Camba hujan turun, mungkin menemani kesedihan kami. Saat memasuki pasar Daya di depan patung ayam, sempat bertanya melalui pesan singkat ke adik yang berada di Jakarta “ditunggu? Atau...” berusaha tidak memberikan perintah. Sebab dia lagi proses menyelesaikan pendidikan diploma sekolah kedinasan. Setahun lalu saat melahirkan di Jakarta, bunda kami masih sempat berada di sana. Sekaligus mengelilingi kembali Jakarta. Hanya punya kesempatan ketika menjelang wisuda saya di Malang. Bersama dengan Bapak, kami bertiga menjelajah dari Surabaya ke Yogya, lalu seterusnya ke Jakarta kemudian ke Malang.
“Tunggu saya”, begitu jawaban adik perempuan kedua saya. “Dengan pesawat paling pagi ke Makassar”, tambahnya lagi masih melalui pesan singkat. Duduk di bagian depan taksi, saya hanya bisa mengirim pesan singkat atau sekadar menoleh ke kursi belakang. Dimana berjejal isti dan mertua, serta seorang kerabat yang ikut membantu kami mengurus rumah.
Masing-masing diam, karena tidak menyenangkan membincangkan suasana ini. Hanya kaca jendela yang bermasalah sehingga kadang sopir berhenti untuk memperbaiki posisi kaca. Tidak sedikitpun juga kata yang terlontar dari bibirnya. Diam, suasana yang tidak menyenangkan.
Begitu mobil berhenti di depan rumah, tidak ada tawa. Hanya ada suara-suara tertahan. Saya mencoba mencari Bapak, entah dimana. Pastinya beliau orang pertama yang kehilangan. Tidak sekalipun mereka terpisahkan. Hanya maut yang akhirnya memanggil terlebih dahulu bunda kami. Saya bergegas menyalami kerabat yang ada. “Tidak perlu menyalami kami” ujar seorang sepupu.
“Lebih penting urusan orang hidup, kak”, kata saya untuk tidak mengabaikan mereka. Setelah itu langsung menuju lantai bawah. Bapak kami memilih untuk membangun rumah dengan lantai ke bawah. Maka jalan raya justru setingkat dengan lantai dua rumah kami. Dengan tidak menimbun cekungan yang ada, justru dari depan tingkat dua terlebih dahulu yang dijejaki.
Saya berusaha mengusap wajah bunda kami yang terbujur kaku. Setelah membacakan fatihah dan mencoba mencium pipinya yang sudah dingin, sayapun mundur untuk bersandar. Menyapa satu persatu kerabat yang sudah ada terlebih dahulu. Beberapa tante yang sudah duduk di dekat jenasah, saya sapa juga.
Malam itu terasa amat panjang. Tetapi sepertinya tidak ada ujungnya. Mencoba menebak-nebah apa gerangan yang terjadi. Tapi tidak jawaban sedikitpun. Bapak lebih banyak termenung. Saya hanya mencoba memeluknya. Suara yang serak sesekali mencoba menceritakan beberapa hal. Tapi saya hanya mencoba menenangkan “semuanya sudah takdir Tuhan, Pak. Kita hanya menjalaninya”. Beberapa keluarga yang masih saya ingat segera dikabari. Tak ingin mendapatkan sesal di kemudian hari kalau tak dikabari.
Adik saya yang sejak setahun terakhir menemani orang tua di kampung datang menghampiri. Saya memeluknya dan meminta untuk sabar. Dia hanya bisa termenung. Sementara si bungsu terhenyak dengan tatapan kosong. Tanpa kata dan justru mengalami kesendirian yang suci. Tidak ada suara sedikitpun. Malam berlalu, rasanya melambat. Bahkan kadang serasa berhenti.
Pagi menjelang, shalat shubuh berjamaah. Tante yang tinggal di Mallawa membuka lembaran demi lembaran Quran dengan lantunan. Bacaannya justru membuat sembab mata ini. Sampai pagi, kerabat berdatangan. “Tuhan tidak akan memberi cobaan bagi yang tidak sanggup menanggungnya”, demikian kalimat kakak sepupu dari pihak Bapak yang datang dari Tana Batue.
Persiapan sudah smpurna, kain kapan, kapur barus dan semua perlengkapan memandikan jenazah sudah disiapkan kakak sepupu yang tinggal di Balle, Camba. Dia selama ini aktif di Aisyiyah, sehingga urusan memandikan jenazah bukan hal baru baginya. Bahkan sudah ada tim yang terlatih dan cekatan yang siap mengurus keperluan jenazah. Hanya menunggu adik perempuan yang sudah terbang dari Jakarta. Dia mewanti-wanti untuk tetap menunggunya sebelum jenazah dimandikan.
Begitu dia tiba, beberapa kerabat meminta yang hadir untuk memberi jalan. Perjalanan jauh dari Jakarta ditambah dengan mengendarai mobil ke Camba sepertinya tidak membuatnya lelah. Hanya saja mertua adik langsung pingsan menyaksikan jenazah. Beberapa sanak saudara segera memapahnya untuk beristirahat di kamar. Bapak kami duduk bersimpuh merangkul jenazah. “Pak, sudah waktunya untuk dimandikan”, kalimat saya meminta kerelaan Bapak. Sepanjang malam beliau lebih banyak diam. Hanya diam dengan tatapa kosong.
Saya segera meminta jenazah diangkat untuk segera dimandikan. Memandu adik-adik untuk duduk di kiri dan kanan jenazah. Adik perempuan saya minta membersihan bagian badan dan memastikan jenazah bersih. Istri saya walau sudah dilarang untuk ikut memandikan karena baru saja menjalani operasi tetap saja duduk di bagian kepala. Menyapukan shampo dan membersihkan bagian rambut.
Si bungsu dalam diam terus membersihkan bagian kaki. Saya hanya memandu saja, mengarahkan proses memandikan jenazah. Begitu semua sisi yang sudah menyatakan bersih dengan isyarat tangan yang diangkat, maka beberapa kerabat yang sudah siap mengangkat jenazah untuk dikafani segera saya minta masuk ke ruangan.
Sayapun segera menuju masjid. “Setelah dhuhur jenazah langsung diantar ke masjid”, arahan saya untuk persiapan shalat. Dhuhur dilaksanakan berjamaah tak jauh dari rumah. Masjid yang terletak tidak lebih dari lima rumah jauhnya. Begitu shalat dhuhur usai, jenazah sudah dipapah. Imam kelurahan mempersilahkan saya memimpin shalat jenazah. Dengan linangan air mata segera meminta jamaah merafikan shaf. Setelah shalat kembali memimpin pembacaan doa.
Saat doa selesai dipanjatkan, keluarga yang bertugas untuk mengangkat jenazah ke pemakaman sudah berada di posisi masing-masing. Sayapun bergegas menuju ke tempat pemakaman. Sejak kecil kami menyebutnya Taman Bahagia. Dulunya berdampingan dengan Taman Makam Pahlawan (TMP). Tetapi TMP direlokasi ke daerah Ujung. Sementara Taman Bahagia mengalami perluasan. Warga yang wafat bertambah sementara lahan tidak mendapatkan perluasan. Akibatnya, Taman Bahagia tidak tertata dengan baik.
Keluarga yang bertugas mengubur dengan cepat cekatan menyelesaikan. Setelah itu, imam kelurahan yang saat itu dijabat H. Yakin menyelesaikan seluruh rangkaian prosesi pemakaman. Terakhir, beliau meminta saya untuk mewakili keluarga menyampaikan sambutan. Begitu Pak Imam mempersilahkan lamat-lamat terdengar ratapan si Bungsu, sayapun memintanya untuk sabar, jikalaupun menangis tetap dengan tidak meraung-raung. Kesedihan boleh-boleh saja, kehilangan bunda kami merupakan sebuah cobaan. Tapi, itu smua bukan alasan untuk bertindak dengan tidak patut.
Akhir dari rangkaian pemakaman itu, saatnya untuk berterima kasih kepada seluruh yang hadir. Atas budi baik dan bantuan mereka sehingga pemakaman almarhumah berjalan lancar. Begitu juga dengan pesan bahwa jikalau ada utang yang tidak terbayarkan, maka kami para ahli warisnya dengan tangan terbuka bersedia menerima pengaduan dari utang-utang yang diambil oleh beliau.
Tiga malam berturut-turut, tetangga dan kerabat baik dekat tempat tinggal maupun dari jauh berdatangan. Turut memberikan dukungan atas kehilangan itu. Selama tiga malam dengan pertemuan sepertinya suasana kehilangan belum terasa. Begitu takziah sudah berlalu saatnya duduk setelah mengemasi pelaksanaan acara takziah. Baru kemudian terasa betapa bunda kami sudah pergi selama-lamanya. Tidak ada lagi sapaan yang mengingatkan untuk shalat. Saat kembali ke Makassar, tidak ada telepon yang walau sekadar bertanya kabar. Semakin lama semakin menyadari bahwa beliau sudah pergi.
Begitu juga saat idul fithri atau hari raya lain. rumah terasa sepi, dengan tidak hadirnya beliu. Antusiasme untuk pulang merayakan hari raya di kampung tidak seperti ketika beliau masih hidup. Semuanya sudah terlambat, ternyata kehadiran bunda merupakan anugerah. Tetapi selama ini mungkin saja selalu abai.
Begitulah sifat manusia. Di saat kehilangan mendera baru kemudian menyadari betapa pentingnya sebuah hal di saat sudah tidak bersama kita lagi. Begitu jugalah dengan orang tua. Saat tidak bersamanya lagi, maka baru kesadaran itu muncul. Padahal, semuanya sudah terlambat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H