Hanya di Indonesia saja, ada sistem akreditasi jurnal. Apalagi pelaksanaan akreditasi jurnal sepenuhnya berada di tangan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kemendikbud. Untuk jurnal yang diterbitkan lembaga penelitian dapat diakreditasi di LIPI. Pemerintah di negara lain tidak menggunakan ini sebagai instrument untuk mengontrol kualitas sebuah jurnal. Prakarsa ini dilaksanakan sebagai rangkaian untuk memberikan standarisasi dalam pengelolaan jurnal sehingga bisa mencapai kualitas yang memadai.
Dalam penyampaian Prof. Wasmen Manalu, Tim Akreditasi Jurnal DIKTI dalam Simposium Nasional Kualitas Jurnal 2013, di masa yang akan datang kebijakan seperti akan lebih produktif kalau ditangani oleh asosiasi keilmuan sehingga penyediaan akreditasi jurnal sepenuhnya berada di tangan masyarakat ilmuwan. Tidak lagi berada di tangan birokrasi pendidikan. Penilaian akreditasi jurnal akan lebih memadai kalau masyarakat ilmuwan sendiri yang melakukannya karena merekalah yang paling mengerti perkembangan bidang ilmu yang digeluti.
Bayangan ketika menyebut akreditasi ini tentu susah dan birokratis. Tidak juga sepenuhnya tepat, sistem penilaian baik DIKTI maupun LIPI sudah transparan. Kriteria dan bobot yang digunakan dalam penilaian juga disosialisasikan. Pengelola jurnal tinggal menggunakan instrumen penilaian yang disiapkan untuk menilai diri sendiri. Setelah itu, jika sudah memenuhi kriteria tinggal diajukan dengan melengkapi beberapa berkas.
Ke depan, ada inisiatif DIKTI dan LIPI untuk menyatukan sistem penilaian akreditasi sehingga cukup satu pedoman yang digunakan bersama. Ini tentu menguntungkan semuanya, baik kalangan perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Sehingga tidak lagi ada polarisasi antara pendidikan tinggi dengan pusat-pusat penelitian. Produksi keilmuan keduanya juga akan saling mengakui sehingga potensi yang ada ketika disatukan akan mendapatkan lagi sumber-sumber tulisan dengan jumlah yang semakin besar.
Beberapa catatan yang perlu diperhatikan untuk memahami akreditasi jurnal antara lain, pertama, telah terbit minimal tiga tahun. Penerbitan tiga tahun ini harus berturut-turut dan memenuhi waktu sebagaimana “janji” yang dituliskan dalam halaman sampul. Jikalau terbit setiap April dan Oktober, maka jurnal itu sudah dapat diakses (dibaca) umum setiap awal bulan. Sebagaimana kalau koran harian, maka saat fajar menyingsing, cetakan koran sudah berada di tangan pembaca. Koran yang ingkar menepati jadwal terbit yang ditentukannya sendiri tidak akan memiliki kredibilitas di kalangan pembaca. Demikian pula dengan jurnal. Untuk mendapatkan nilai kredibilitas diperlukan ketepatan jadwal terbit. Ini sebagai tanda bahwa apa yang dikelola dapat disampaikan kepada khalayak dengan teratur dan berkesinambungan.
Bahkan dapat saja sebuah tabloid mingguan yang memiliki jadwal beredar pada hari senin sudah dapat dibaca sejak hari Jumat. Demikian pula dengan jurnal. Ketika menjadwalkan bulan April sebagai jadwal terbit, dapat saja mereka sudah mengedarkan jurnalnya, biasanya dalam versi online sudah dapat dibaca sejak Maret. Ini menunjukkan bahwa pengelola mampu menyediakan edisi jurnal yang memiliki ketepatan dalam waktu penerbitan. Saat sudah memenuhi ketentuan terbit yang ditentukannya sendiri, maka jurnal tersebut merupakan jurnal dalam kategori baik.
Kedua, tata kelola jurnal. Penerbit jurnal hanyalah mengurusi manajemen penerbitan semata dan menjaga kesamaan gaya selingkung (in house style). Untuk penilaian kualitas tulisan, maka ini diserahkan kepada komunitas akademik. Setelah penyunting mengecek standarisasi tulisan sebagaimana sistematika yang digunakan jurnal. Selanjutnya, sebuah tulisan dinilai oleh minimal dua orang reviewer. Jikalau diantara keduanya ada perbedaan, maka diperlukan penilai ketiga sebagai perbandingan. Status artikel jurnal yang dinilai kemudian memunculkan keputusan, diterima tanpa perbaikan, diterima dengan perbaikan, ditolak.
Ukuran penerimaaan dan penolakan didasarkan pada beberapa hal, kesesuaian topik artikel dengan cakupan jurnal, berikutnya dapatan atau hasil penelitian yang disampaikan mengandung kebaruan (novelti), bukan pengulangan dan fabrikasi data. Artikel yang diusulkan juga mengandung perbedaan (distingsi) dengan penelitian terdahulu. Bukan hanya dengan rumusan baru atas penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Sehingga jurnal selalu memberikan temuan-temuan baru dan bukannya pengulangan demi pengulangan.
Kendala utama jurnal kita adalah pengelola masih sebatas menjaring tulisan. Bukan bertugas menyaring tulisan karena kurangnya artikel yang diterima. Apalagi bagi jurnal yang belum terakreditasi selalu saja menemui kesulitan untuk mengumpulkan tulisan. Sehingga pengelola jurnal terpaksa mencari tulisan dan merayu para penulis untuk mengirimkan tulisannya. Kadang-kadang pula penyunting jurnal turut menulis. Jikalau sebuah jurnal sudah mapan semakin kurang penyunting ikut menulis dalam jurnal yang dikelolanya.
Orang yang mau mengurusi jurnal disebut oleh Prof. Ali Saukah sebagai orang gila. “Mereka tetap harus dibiarkan gila, ketika sembuh dia akan berhenti mengurusi jurnal”, gurau Prof. Saukah. Betapa tidak?. Insentif pengelola jurnal hanya sebesar Rp. 300.000 untuk satu kali terbit. Ini sesuai dengan ketentuan Standar Biaya Umum (SBU) Kementerian Keuangan. Dengan bekerja lebih dari 24 jam sehari atau bahkan memerlukan usaha yang lebih banyak, imbalan sebesar itu tidaklah cukup. Sementara mengurusi sebuah terbitan jurnal tidak dikerjakan dalam sehari saja, perlu waktu berbulan-bulan bahkan sepanjang tahun. Namun demikian, tetap saja ada orang yang mau bekerja dengan kondisi seperti itu. Maka, kata gila, menjadi label yang disandangnya karena tidak lagi sesuai dengan pakem.
Sementara syarat ketiga, jurnal harus spesifik dalam kajian tertentu. Tidak lagi berbentuk sebagai bunga rampai, kumpulan tulisan dari bidang keilmuan yang beragam. Sebuah jurnal yang khusus menerbitkan artikel dalam penelitian Kajian Amerika akan mendapatkan nilai lebih tinggi dibandingkan dengan Jurnal Hubungan Internasional. Sebagaimana Jurnal Biologi akan mendapatkan nilai lebih rendah dibandingkan dengan Jurnal Taksonomi. Secara khusus jurnal harus menerbitkan artikel yang berkualitas sesuai dengan bidang ilmu yang menjadi cakupannya. Maka, memenuhi ketiga tuntutan itu, terbit teratur, dikelola dengan baik, dan menerbitkan artikel bermutu, secara otomatis akan memberikan dampak akreditasi bagi jurnal. Tanpa ketiganya, maka memenuhi syarat akreditasi sepertinya tidak dapat dicapai.
Sebuah jurnal yang terakreditasi tidak dapat lepas dari peran penyumbang artikel. Kualitas jurnal tidak hanya ditentukan oleh tata kelola dan pengelolaan jurnal sampai penerbitan. 50% diantaranya ditentukan oleh substansi isi dalam setiap artikel. Dalam skala 100, nilai maksimal untuk unsur ini sebesar 40. Adapun gaya penulisan sebesar 13 poin. Ketika sebuah jurnal memuat artikel yang memenuhi ketentuan penulisan, maka sudah membantu pengelola jurnal untuk mendapatkan nilai maksimal. Ditambah lagi dari nilai penyuntingan sebesar 18. Ini bermakna, sudah 2/3 unusr-unsur yang dinilai sudah tercakup di dalamnya.
Artikel haruslah merupakan produk asli dan tidak boleh sedikitpun mengandung unsur plagiat, falsifikasi data, dan fabrikasi. Syarat lainnya, artikel juga ditulis dengan menggunakan analisis dan sintensis, bukan hanya merupakan deskripsi. Rujukan yang digunakan juga 90% adalah sumber primer dan mutakhir. Tidak lagi merujuk kepada buku-buku lama dan buku ajar kecuali kalau itu adalah buku sumber tetapi jumlahnya tidak melebihi 10%. Pakem ini tentu tidak berbeda kalau dalam penelitian historis.
Sebagai prasyarat, setiap artikel dimulai dengan abstrak dalam dua bahasa. Bahasa asing yang dipergunakan sebagai bahasa PBB ditambah dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan. Ini bukan sebagai penilaian tetapi semata-mata sebagai prasyarat. Semangatnya dalam penjelasan Prof. Saukah bahwa semua penerbitan harus tunduk pada ketentuan penggunaan bahasa nasional. Ini juga berarti bahwa sebuah artikel jurnal tetap harus menggunakan ketentuan ini dalam penerbitannya.
Instrumen akreditasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2011 mensyaratkan penggunaan ukuran kertas A4. Tetap boleh menggunakan ukuran kertas lain sepanjang itu digunakan secara konsisten. Sehingga kertas selain A4 tidak akan mendapatkan angka penuh, sementara hanya A4 yang akan mendapatkan nilai maksimal dari unsur penggunaan kertas. Berita baiknya, jikalau semua ketentuan lain dipenuhi maka tidak mendapatkan poin dari ukuran kertas bukanlah masalah.
Di atas semua itu, konsistensi adalah panduan segalanya. Layout, penataan halaman, dan format penulisan, semuanya harus sama dari edisi ke edisi. Jikalau ini dilakukan, maka itu dengan mudah sudah memenuhi segala ketentuan yang ada dalam panduan akreditasi. Sehingga diperlukan usaha untuk mempertahankan semua aturan yang ditetapkan sendiri. Ini sebagai cerminan dari pelaksanaan ketentuan penulisan yang ditetapkan redaksi.
Satu hal lagi, setiap jurnal sudah memiliki laman web. Ini untuk memudahkan verifikasi terbitan dalam versi online. Ada kemudahan yang dapat dipakai sebagai perangkat lunak Open Journal System (OJS) untuk menjalankan web jurnal. Penggunaan software ini akan memudahkan pengelola jurnal dalam menata jurnal versi online.
Akreditasi Internasional?
Untuk jurnal-jurnal yang diterbitkan dalam skala internasional, tidak ada lembaga secara khusus yang memberikan penilaian akreditasi. Lembaga atau perusahaan seperti Scopus atau ISI Thomson hanya memberikan “pengakuan” dalam bentuk indeks. Abstract jurnal yang diterbitkan dapat diakses melalui lembaga tersebut. Adapun akses penuh disesuaikan dengan kebijakan masing-masing pengelola jurnal.
Ketika sebuah jurnal sudah terindeks, maka jurnal itu dalam istilah yang berbeda tidak lagi disebut jurnal terakreditasi tetapi jurnal bereputasi. Reputasi sebuah jurnal diukur dari impact factor (IF). Lembaga seperti Scimago memberikan penilaian atas dampak yang disandang sebuah jurnal. Semakin banyak artikel jurnal itu disitasi oleh artikel lain, maka nilainya akan semakin tinggi. Jurnal bukan lagi sekadar untuk dibaca tetapi juga dirujuk sebagai bagian dari aktivitas ilmiah. Maka, jurnal yang memiliki IF dapat beraryi sebagai jurnal yang memiliki reputasi dan juga memberikan dampak bagi masyarakat ilmiah.
Untuk jurnal dengan akses terbuka, sebuah portal Directory Opean Access Journal (DOAJ) memberikan penilaian bagaimana jurnal itu memenuhi syarat akses terbuka. Jurnal yang terindeks dalam DOAJ harus memenuhi persyaratan yang diajukan, sehingga kualitas jurnal yang diindeks oleh DOAJ dapat dipertanggungjawabkan. Hanya saja, perlu juga diperhatikan adanya jurnal predator.
Bisa saja kita tidak setuju dengan penilaian pustakawan Jefry Bell tentang status jurnal predator. Namun, prinsip kehati-hatian akan lebih baik. Begitu juga dengan DIKTI tidak semata-mata menggunakan standar yang dipergunakan Jefry Bell sebagai acuan utama. DIKTI perlu memutuskan standar tersendiri sehingga ini dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat Indonesia. Sebagaimana sudah melakukan prakarsa dalam akreditasi jurnal nasional.
Sistem akreditasi sesungguhnya akan membantu kalangan ilmuwan untuk memberikan dampak bagi lingkungan melalui publikasi. Dengan publikasi yang terstandarisasi, tingkat kepercayaan terhadap informasi yang disajikan akan lebih valid, kemudahan akses akan menjadi bagian sehingga siapapun akan mudah menjangkau, dan dampaknya bagi dunia akademik akan muncul penelitian-penelitian mutakhir dan ditopang oleh penelitian terdahulu.
Artikel Sebelumnya:
- Arah Jurnal Ilmiah Indonesia;
- Jurnal Pendidikan Tinggi yang Memprihatinkan;
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H