Lihat ke Halaman Asli

Iswara Rusniady

Pustakawan

Memperbaiki Kondisi Budaya Baca yang Rendah dengan Pembenahan Sarana Baca

Diperbarui: 29 Oktober 2019   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Akun IG Perpusnas

Pendahuluan.

Bangsa kita  termasuk  bangsa yang mempunyai minat dan budaya baca yang sangat  rendah, hal itu berdasarkan data hasil survai Unesco tahun 2011, yang menunjukan indeks membaca bangsa Indonesia masih sekitar 0,001 %. Itu artinya dalam setiap 1000 orang penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kemudian menurut hasil survai yang dilakukan oleh central connecticut state university Most litterate nations in the world tahun 2016, yang membuat rangking minat baca masyarakat dunia. Dari 61 negara yang di survai atau diteliti tersebut bangsa kita berada di rangking ke 60. Berdasarkan  kedua hasil survai tersebut bangsa kita, ternyata  masih dikelompokan pada bangsa berminat baca sangat rendah. Walaupun data atau hasil survai tersebut masih diragukan kebenarannya, bila kita mencoba melihat dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita terutama pelajar dan mahasiswa pasti tidak lepas dari bahan bacaan terutama  membaca  berformat digital, dengan hanya  menggunakan HP. 

Kalau  kita  mencermati hasil survai seperti digambarkan di atas, sekarang timbul pertanyaan kita kenapa bangsa Indonesia digolongkan sebagai berminat baca rendah bahkan didudukan pada rangking ke 60 dari 61 negara yang disurvai. Apa  memamg  benar masyarakat kita tak suka  membaca. Berdasarkan data Kementrian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan, yang menyatakan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku sebanyak tiga hingga empat kali dalam seminggu, dengan menghabiskan waktu 30 -- 60 menit per hari. Jumlah buku yang dibacapun hanya 5 hingga 9 buku pertahun.

Mencermati pernyataan dan data yang disebut di atas, tentu kita bangsa Indonesia yang sudah 74 Tahun Merdeka,  sangat prihatin sekali dengan penilaian seperti tersebut di atas. Budaya baca bangsa kita digolongkan sebagai bangsa berbudaya baca rendah, malah hampir terendah di antara 61 negara yang diteliti.  Padahal hampir semua orang mengakui bahwa, ciri  bangsa yang maju dan sejahtera ditandai dengan budaya literasinya sudah tinggi.

Padahal para  pakar pendidikan mengakui  bahwa kemajuan bangsa ditentukan dari budaya baca/budaya literasi. Semakin tinggi budaya literasi suatu bangsa akan semakin maju bangsa itu. Sinyalemen yang disebutkan itu tidak mengada-ngada, kita liat negara Jepang. Negara Jepang budaya baca masyarakatnya sangat tinggi, maka nampak sekali kemajuan negara Jepang dari sektor ekonomi juga hasil teknologinya, demikian juga bangsa Cina, yang sekarang perekonomian cina hampir merambah ke seluruh dunia.

Kalau kita melihat contoh kasus seperti digambarkan di atas, bangsa Indonesia sebenarnya bisa mencontoh dan perlu belajar banyak pada negara Finlandia dalam memajukan budaya literasi. Negara Finlandia dalam penelitian tersebut, digolongkan sebagai negara berminat baca paling tinggi/paling literat di dunia. Penulis kutip dari artikel yang dibuat Shofi awanis, di www.hippwee.com Pemerintah finladia benar-benar mendukung pendidikan anak sejak dini. Keluarga jadi gerbang pendidikan awal untuk anak, terutama dalam tahap belajar dalam usia dini.

Oleh karena itu, setiap keluarga yang baru memiliki bayi berhak mendapatkan bingkisan paket perkembangan anak, isinya adalah berbagai keperluan bayi, termasuk buku bacaan untuk ibu, ayah dan bayi itu sendiri. Perpustakaan adalah institusi budaya yang jadi kebanggaan orang finlandia, setiap tahun jumlah buku yang dipinjam dari perpustakaan umum selalu tinggi. Finlandia paling banyak menerbitkan buku anak-anak, dibanding negara lainnya, sehingga stock buku baru yang sesuai dengan rentang  usia selalu tersedia. Sistem pendidikan di finlandia lebih menekankan pembelajaran dengan metode bermain, berimajinasi, dan self-discovery, mereka lebih menekankan kolaborasi daripada kompetisi.

Kalau melihat contoh kasus yang terjadi di negara finlandia.  Budaya literasi, sebenarnya tidak lepas dari tersedianya prasarana dan sarana baca, tersedianya akses terhadap berbagai sumber informasi yang mudah, baik yang disediakan di Lembaga Pendidikan maupun yang tersedia di masyarakat. Mungkin sekarang pertanyaannya apakah di setiap Lembaga Pendidikan sudah tersedia perpustakaan, bagaimana kondisi penyelenggaraan perpustakaannya? Kemudian apakah setiap daerah atau sekitar lingkungan anda sudah ada perpustakaan? Karena perlu dipahami, orang mau membaca bila tersedia buku bacaan dan sarana bacanya, bila tidak ada buku dan  tidak ada sarana bacaan/fasilitas untuk membaca seperti adanya perpustakaan dan taman bacaan, bagaimana tumbuh minat dan budaya baca.

Kadang kala kita melihat sudah ada perpustakaan di sekolah atau di perpustakaan umum daerah, tetapi jumlah koleksinya masih sangat terbatas, kalau demikian apanya yang mau dibaca, dan bagaimana menggerakan minat dan budaya baca.? Salah satu cara memperbaiki kondisi minat dan budaya baca rendah, sebenarnya terletak dari kemauan untuk segera membenahi dan memperbaiki sarana baca (perpustakaan).

 Salah satu kendala utama dalam mengatasi persoalan rendahnya budaya baca adalah masih kurang atau masih terbatasnya sarana baca (perpustakaan) yang tersedia di setiap lapisan masyarakat. Karena masih kurang tersedianya akses informasi yang dapat dimanfaatkan masyarakat, hal ini menyebabkan minat dan budaya baca masyarakat tidak berkembang.

Hal ini sesuai apa yang pernah dikemukakan oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI, Moch. Syarif Bando pada suatu rapat yang mengatakan bukannya masyarakat kita tidak mempunyai minat dan budaya baca, tetapi lebih pada akibat sarana untuk membacanya tidak ada, atau sarana untuk membaca masyarakat kurang tersedia. Namun demikian sebenarnya bangsa kita, seperti apa yang dikemukakan Kaperpusnas, masyarakat sudah mempunyai minat baca tinggi, buktinya hampir kita sering jumpai disetiap kereta api, di bus, di tempat wisata maupun tempat lainnya banyak coretan-coretan, begitu juga di media sosial facebook, twiter, istigram banyak sekali status dan komentar dan ungkapkan. Hal ini sebenarnya masyarakat kita sudah mempunyai minat baca dan menulis. Walau masih terbatas, lewat media yang seperti disebutkan di atas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline