Apa itu feature? bagaimana menulis feature yang punya roh, sehingga enak untuk dibaca. Feature tetaplah feature, punya kelas tersendiri dalam media. Tidak ada batasan tertentu dari sebuah feature, karena feature bukanlah sekedar membuat pembaca senang dan terhibur tetapi feature juga harus punya soul dan nilai.
Goenawan Muhammad dalam tulisannya pada buku "Seandainya Saya wartawan tempo" menuturkan bahwa kemampuan seorang penulis feature bukan hanya dilihat dari kemampuannya memainkan diksi, akan tetapi dia juga harus memperhatikan beberapa poin seperti kreativitas, subyektivitas, informatif, menghibur, ke-awet-an dan panjang tulisan.
Feature bukanlah opini penulis yang dikembangkan berdasarkan argumen dan asumsi, tetapi dia lahir dari hasil riset yang matang dan mendalam. Makanya feature bisa dikatakan sebagai tulisan sepanjang masa yang tak musnah dimakan waktu.
Bagi media cetak feature adalah ujung tombak berita, kok bisa? coba kita sandingkan dengan kerja awak media dari media elektronik yang begitu cepat menayangkan sebuah berita jam itu juga. Bahkan bisa di sampaikan secara berulang-ulang. Itu belum termasuk dengan citizen journalis dan netizen di media sosial yang bisa lebih cepat lagi melemparkan isu maupun news.
Terus bagaimana dengan media cetak? media cetak tentu perlu sebuah feature agar tetap "hidup" dalam persaingan media. Sebuah feature yang ditulis secara eksklusif dari sudut pandang yang berbeda secara mendalam (in depth) tentu saja bisa mengalahkan news media elektronik yang itu itu saja. Saya mengambil contoh Majalah mingguan Tempo yang bagi saya begitu 'mewah' menyajikan sebuah ulasan tentang sebuah kasus. Tentu saja yang disampaikan pun melalui tahapan investigasi secara aktif dan intensif sehingga data yang didapat bukanlah hoax dan isapan jempol.
Menulis feature tentu saja harus aktual. Penulis dituntut bisa mengkonversi berita biasa menjadi luar biasa, yang membuat berita menjadi luar biasa adalah dari kejelian seorang penulis melihat sisi abu abu yang tak bisa dilihat secara langsung oleh pembaca. Tentu kita berharap feature membawa dampak positif, jika berbicara tema sosial misalnya, diharapkan muncul empati dan simpati dari publik pembaca.
Dalam tulisan yang lain Goenawan menegaskan bahwa seorang penulis feature bagaikan "empu: yang melukis dengan kata-kata. Penulis harus mampu menghidupkan imajinasi pembaca agar bisa masuk ke dalam cerita. Ibaratnya penulis dituntut punya insting bertutur, bisa diingat pesan yang berbunyi "write as you talk" (menulislah seperti halnya anda sedang bertutur). Itulah sehingga untuk feature, sering dikatakan sebagai "jurnalisme bertutur'.
Dan yang terakhir, tentu saja kaidah kaidah penulisan artikel tak boleh diindahkan, seperti bagaimana mengolah lead yang lebih menggoda, memperkaya 'tubuh' dan 'ekor' artikel, menemukan story angle yang tepat. Dengan demikian kita bisa menentukan jenis feature yang akan kita tulis, apakah feature berita atau human interest.
salam
Kolaka, 26 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H