Lihat ke Halaman Asli

Iswan Heri

Dreamer, writer, and an uncle

[Bulan Kolaborasi RTC] Memoar Payudara

Diperbarui: 18 April 2016   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber ilustrasi: aktual.com"][/caption]“Bu,”Aku menoleh. Widuri, puteri sulungku berdiri di depan pintu kamar. Matanya terlihat sembab dengan sisa- sisa air mata masih tercetak di pipi putihnya. Hatiku mencelos melihatnya.“Kemari, Wid!” panggilku sembari mengusap lembut permukaan kasur yang tengah kududuki. Menunjukkan dia bisa bercerita apapun padaku. Ibunya.

Widuri menurut. Ia melangkah perlahan menghampiriku lalu duduk di sampingku.Kucoba mengulas senyuman, meski sejujurnya melihat keadaan Widuri membuat sudut hatiku terasa teriris. Perih.

“Ada apa, Nak?” tanyaku lembut.

Widuri menatapku, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya bersuara, “Ibu jadi pergi?”Aku terdiam sejenak. Ternyata ini yang mengganggu pikirannya. Sebersit rasa bersalah menyelimutiku, namun tak lama kuanggukkan kepala.

“Jadi…” jawabku lirih. Sungguh bibir ini pun terasa kelu.

“Harus ya, Bu?”

Harus? Aku terdiam kembali. Pertanyaan Widuri membawa ingatanku mundur kembali ke belakang. Bertahun- tahun sudah aku dan seluruh warga berjuang untuk mempertahankan keutuhan daerah kami. Tempat tinggal kami. Tanah leluhur yang harus dijaga dari arus modernisasi zaman.

Pemerintah akan mendirikan pabrik semen di daerahku. Terang seluruh warga menolak mentah- mentah. Pencemaran dan kerusakan alam sekitar menjadi taruhan terbesar jika pabrik tetap berdiri. Dampak yang akan ditimbulkan akan sangat berpengaruh bagi kehidupan warga saat ini juga keberlangsungan hidup anak cucu kami. Apalagi daerah Pegunungan Kendeng yang merupakan daerah resapan air yang cukup baik. Bisa dipastikan semua tak lagi sama jika pabrik tetap ada.

“Ibu akan baik- baik aja kan?” Pertanyaan Widuri menyentakkan kesadaranku. Bertahun- tahun berjuang, kami masih belum menemukan keadilan. Unjuk rasa, aksi damai, bahkan sudah dua tahun para wanita di kampungku hidup di tenda sebagai bentuk protes, belum jua berbuah hasil. Dan sekarang, beberapa orang warga akan datang ke Jakarta, ingin bertemu langsung sang pemimpin tinggi negara dengan aksi yang lebih nekat. Aksi yang membuat semua orang membuka matanya terhadap ketidakadilan yang sudah kami terima.

Kuanggukkan kepala. “Ibu pasti baik- baik saja. Ibu pasti kembali.”

Widuri mengangguk dan memelukku erat. Anakku cemas itu wajar. Namun perjuangan tak boleh berhenti. Semua kami lakukan untuk kebaikan bersama. Kehidupan kami, anak cucu serta seluruh makhluk hidup yang menggantungkan diri pada Pegunungan Kendeng.Kulakukan semua untukmu, Nak. Untuk hidupmu juga semua anak- anak di masa depan, bisikku dalam hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline