Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Iswan

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia

Selimut Hangat dalam Gelap

Diperbarui: 30 Oktober 2021   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

 

Hadir di dalam gelap memang selalu membawa misi bagi aku yang manusia dalam usaha dan fasilitas serta keterbatasan pikir agar dapat menjangkau dan menelisik ke mana akan melangkah dengan terlebih dahulu mencari arah dari titik-titik cahaya. 

Terang atau redup adalah urusan belakang, yang terpenting adalah melangkah untuk kian mendekat kepada titik di mana sebuah cahaya seakan memberi tuntunan yang memanggil untuk didekati dan kemudian membawa keluar dari gelap yang telah menyiksa hingga kaki pun enggan melangkah.

Malam adalah kawan bagiku menapaki setiap inci sesuatu yang ada dan dapat dijangkau kesadaran pikir dalam diriku. Meski pada dasarnya aku pun belumlah sepenuhnya paham tentang siapa dengan mengapa ada aku yang hingga sekarang belum mampu memahami diriku sendiri. 

Ketenangan yang dihantarkan oleh gelap malam bersama angin yang kadang membuat kulitku mengkerut keriput ternyata juga membawa damai hingga aku kadang terpaksa membalutkan selimut di sekeliling tubuhku. Aku tak sanggup berontak pada malam dingin yang kian memaksaku tuk menghempaskan diri di atas kasur saja.

Rasa malas yang timbul dari dalam diri telah membuatku tertidur pulas dalam kesunyian pikir. Gelap meninabobokanku yang tak sanggup dalam upayaku sendiri. 

Cahaya atau bahkan percikannya pun kadang tak kusadari kehadirannya dalam keenggananku mencari arah. Jangankan untuk melangkah, kadang dan lebih banyak bahkan otak pikirku begitu jauh bersemayam dalam posisi cinta dalam diriku sampai-sampai aku pun tak rela jika ia harus mnderita sakit akibat pikir yang dapat menjeratnya melakukan circle tak berujung. Cintaku yang dalam itu kian kumanja agar tak kudapati ia menderita akibat kerjaan serakah dari indra dan naluriku.

Di penghujung tidurku yang pulas, tak dapat kupungkiri bahwa memang bangkit darinya adalah manusiawi. Tak perlu mendikteku tentang tidur panjang yang tak lagi dapat Kembali menjajaki indahnya dunia, sebab hidup dalam kesunyian pikir pun sudah jadi kematian bagiku karena tak jua kususuri keindahan itu, atau mungkin memang keindahan itu yang tak sudi menemuiku yang juga sudah mulai resah hampir putus asa menantinya? Entahlah. 

Hal yang kudapati hingga saat ini adalah nyenyak tidurku tak dapat bertahan lama, bangunku kadang menjadi kesadaranku bahwa aku telah lama tak menemui batas-batas penglihatanku dan juga batas pendengaranku. 

Kadang pula aku terbangun sebab utopia mimpi yang kuperoleh dalam nyenyak. Utopia hidup yang menjadi dambaku itu kadang bergiliran dengan dystopia sosial politik dunia menghampiriku dalam diamku yang sunyi tanpa pikir atau pun usaha untuk berpikir. Entah apa, bagaimana dan untuk apa ia menghampiriku jika hanya untuk memberi harap.

Aku masih keheranan dengan kehadiran hal-hal yang tak kuharap itu. tapi yang kupahami adalah ia hendak menyampaikan pesan kepadaku dan karena kecintaanku pada fasilitas dan daya pikirku aku tak menggunakannya untuk menyimak kehadiran-kehadiran itu. Aku tak yakin bahwa sang pemberi fasilitas pikir ini akan marah padaku, toh pemberian atau titipannya masih kujaga agar jangan terkotori dengan hal-hal yang tak kudapati kebahagiaan dan keindahannya itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline