Lihat ke Halaman Asli

ISWADI SYAHRIAL NUPIN

PUSTAKAWAN MUDA / FINALIS LOMBA PUSTAKAWAN BERPRESTASI TINGKAT NASIONAL 2024 / UNIVERSITAS ANDALAS

Merawat Indonesia dengan Membumikan Pancasila dan Toleransi

Diperbarui: 6 Juni 2023   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia adalah negara besar dengan ragam etnik, bahasa dan agama serta kepercayaan. Penduduknya yang heterogen sangat memungkinkan terjadinya konflik etnik yang muncul disebabkan ketidakpahaman tentang Pancasila sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan ideologi yang disepakati oleh seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar Pancasila itu dapat dipahami dengan benar maka dibentuklah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Pancasila sebagai pandangan hidup tentu harus diperkuat dengan kebulatan tekad menyatukan pandangan hidup seluruh elemen bangsa, memberikan keyakinan bahwa perbedaan merupakan keniscayaan lahiriah, bahkan rahmat dari Tuhan. Hal ini disampaikan oleh Prof.Yudian Wahyudi sebagai Ketua BPIP yang dapat diakses melalui You Tube Sekretariat Presiden Republik Indonesia (kampus.republika.co.id, diakses 25 Mei 2023).

Masih teringat dalam benak penulis bagaimana kejamnya konflik etnik dan agama yang terjadi paska reformasi. Tragedi Sambas yang dipicu atas kejengkelan etnis melayu terhadap oknum pendatang Madura mengakibatkan sebanyak 1.189 orang tewas, 168 terluka berat, 34 luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, serta 12 mobil dan 9 motor dibakar atau dirusak. sebanyak 58.544 warga Madura mengungsi dari Kabupaten Sambas ke Pontianak (kompas.com, diakses 25 Mei 2023). Konflik antar etnis ini merupakan akibat dari tidak adanya policy pemerintah untuk mengatur sistem ekonomi yang jelas di daerah, hingga timbul kesalahpahaman antar etnis Melayu dengan Madura. Akibat kondisi tersebut, banyak  kalangan etnis  Melayu khususnya pemuda terpaksa meninggalkan daerah Sambas dan pergi merantau ke Malaysia, Batam dan Kota Pontianak. Sementara etnis Madura yang berhasil dalam bidang ekonomi, mulai terjun ke bidang politik.

Sebelumnya akhir tahun 1996 telah terjadi kerusuhan di Sanggauledo, Kalimantan Barat. Kejadiannya berawal dari senggolan dangdut. Di antara keremangan Minggu malam 29 Desember itu, ketika anak-anak muda tersebut asyik berjoget, dua pemuda tuan rumah menyenggol seorang wanita yang dibawa pemuda Sanggau Ledo. Tak senang kawan wanitanya disenggol, sekelompok pemuda dari Sanggau Ledo melabrak. Mereka kemudian mengeroyok kedua pemuda tadi. Di antara pengeroyok, tiba-tiba ada yang menghunus senjata tajam, lalu tubuh kedua pemuda itu bergantian rebah bersimbah darah. Mereka segera dilarikan ke rumah sakit Bethesda di Kecamatan Samalantan. 

Lantas tersiar kabar, kedua pemuda setempat suku Dayak itu meninggal dalam perjalanan. "Padahal mereka masih dirawat di rumah sakit," kata Kolonel Zainuri Hasyim --waktu itu Komandan Korem Kalimantan Barat--. Namun desas-desus telanjur menyebar.  Kerusuhan tak berhenti di kampung kecil yang letaknya tak jauh dari perbatasan negeri Sarawak, Malaysia Timur, tersebut. Beberapa penduduk asal Madura yang tinggal di kecamatan tetangga, seperti Ledo, Bengkayang, dan Samalantan, juga terpaksa mengungsi. Hingga 2 Januari 1997, empat hari setelah Kerusuhan Sanggau Ledo, sekitar 4.000 orang telah "hijrah" ke Singkawang. Panglima Kodam (Pangdam) VI/Tanjungpura Mayor Jenderal Namoeri Anoem yang berkantor di Balikpapan, Kalimantan Timur, datang ke daerah kerusuhan. Ia juga mengirimkan pasukan tambahan (wikipedia.org, diakses 25 Mei 2023).

Kerusuhan etnik yang berakhir dengan tragedi menyisakan rasa yang tidak mengenakkan dalam perjalanan sejarah kebangsaan kita. Kedamaian telah dirusak oleh perbuatan oknum dan provokasi yang membakar sentimen etnis. Seyogianya persoalan sepele itu dapat diselesaikan dengan kepala dingin dan jiwa besar.

Merawat Indonesia adalah tugas berat kita sebagai generasi penerus bangsa Indonesia. Cara yang terbaik adalah membumikan Pancasila yang dimulai dari keluarga. Perlu dijelaskan kepada anggota keluarga bahwa memahami Pancasila itu harus seutuhnya tidak parsial belaka. Kita meyakini sila Ketuhanan Yang Maha Esa seyogianya perilaku kita semestinya mencerminkan insan yang beragama. Tidak dibenarkan mencela agama dan kepercayaan orang lain. Kita seyogianya menerima perbedaan. Menghargai perbedaan itu dengan toleransi. Menghargai perbedaan itu ibaratnya seperti nongkrong di warung bersama teman-teman dengan memesan minuman yang berbeda. Misalnya ada yang memesan kopi, teh, capucino, dan lainnya. Kita hendaknya tidak memaksakan selera kita kepada orang lain. Yang paling penting kita menghargai pilihan hidup mereka sebagaimana kita menghargai minuman yang dipesan teman kita.

Pluralitas adalah keberagaman atau kemajemukan yang terdapat dalam suatu bangsa yang mendorong tumbuhnya persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan itu muncul bukan berdasarkan teriakan "Saya Indonesia!" atau "Saya Pancasila!". Akan tetapi muncul dari kesadaran kita bahwa mencintai Indonesia adalah satu kewajiban yang mulia. Mencintainya dengan tidak melakukan stereotipe negatif terhadap orang-orang yang berbeda dengan keyakinan kita. Dalam peringatan hari lahir Pancasila yang berlangsung 1 Juni maka perlu diadakannya Pekan Pancasila. Pekan Pancasila ini seyogianya dimeriahan dengan acara atau kegiatan gotong royong, pidato tentang Pancasila dan Kuis tentang Pancasila. Bagi yang menjawab tentunya akan memperoleh reward yang sepantasnya. Penulis masih mengingat sebelum keruntuhan orde baru. Di Taman Ria, tepatnya di Kota Medan, setiap bulan bakti Pancasila sering diadakan kuis yang berkaitan dengan Pancasila. Penulis sempat memperoleh hadiah berupa alat tulis kantor karena berhasil menghapal Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Indoktrinasi yang dilakukan orde baru itu sangat bagus sehingga kita bisa mengulangkaji tentang dasar negara Indonesia. Aku tidak mengatakan aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang ku kerjakan adalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah. Demikian quote Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline