[caption id="attachment_133712" align="aligncenter" width="540" caption="Illustrasi: http://www.uniquefarm.com"][/caption] Pada jaman dahulu, di sebuah kampung terpencil bernama Kampung Kijiji hiduplah seorang nenek yang tinggal bersama seorang cucunya bernama Lui. Nenek Qodimah begitu orang di kampung tersebut memanggilnya. Walaupun sudah renta, setiap hari Nenek Qodimah pergi ke hutan mencari kayu bakar untuk kemudian dijual atau ditukar dengan kebutuhan sehari-hari. Kadang-kadang penduduk kampung menerima kayu bakar sang nenek hanya karena sekedar belas kasihan. Selain mencari kayu bakar, Nenek Qodimah terkadang meminta tetangganya untuk diizinkan ikut membantu menanam padi atau palawija di sawah atau ladang mereka. Penduduk di Kampung Kijiji sebenarnya enggan mempekerjakan nenek Qodimah. Selain hasil kerja yang kurang maksimal, rasa tidak tega kerap menghampiri benak penduduk Kijiji. Selain dipusingkan oleh mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari . Nenek Qodimah juga dipusingkan oleh tingkah laku Lui yang sangat pemalas. Sang nenek sebenarnya tidak menuntut banyak dari Lui. Nenek Qodimah sadar kalau Lui baru berumur delapan tahun dan tak mungkin diminta untuk membantunya mencari nafkah. Nenek Qodimah hanya meminta Lui untuk rajin belajar mengaji di surau dekat rumah mereka. Nenek Qodimah hanya berharap Lui yang merupakan satu-satunya kerabatnya di dunia ini bisa menjadi orang pintar dan bisa hidup layak seperti orang-orang lain yang sering dilihatnya. Tapi Lui yang sangat pemalas tak pernah mengindahkan nasehat nenek yang sudah merawatnya sejak bayi. Nenek Qodimah merawat Lui sejak lahir delapan tahun yang lalu. Ibu Lui sendiri meninggal satu jam setelah melahirkan Lui. Ayah Lui pergi merantau sejak Lui masih dalam kandungan. Kondisi mereka yang sangat miskin saat itu memaksa ayah Lui untuk mencari peruntungan di negeri seberang. Tapi sejak itu ayah Lui tak pernah datang kembali. Tak pernah ada seorangpun yang membawa kabar tentangnya. Tidak pernah ada. Nenek Qodimah kerap menceritakan tentang menantunya itu pada Lui dan memberi tahu kalau ayah cucunya itu sudah meninggal tertelan ombak di laut sana. Ada satu kebiasaan Lui lagi yang membuat nenek Qodimah sering sekali marah-marah karenanya. Sejak kecil Lui sangat malas mandi. Setiap disuruh mandi Lui selalu mengamuk. Pernah suatu hari Lui membanting periuk nasi di dapur mereka hingga pecah gara-gara Nenek Qodimah memaksanya mandi. Nenek Qodimah pun terpaksa mengutang untuk mengganti periuk nasi mereka. Jika putus asa menghampiri , sang nenek membiarkan saja cucu malasnya itu tidak mandi sampai berhari-hari. Seperti hari itu, sudah hampir satu minggu Lui tidak mandi. Badannya tentu saja sangat bau dan kumal. Apalagi sehari-hari Lui bermain di sawah atau mencari anak burung di pinggiran hutan. “Lui… apa kamu tidak dengar kata-kata tetangga yang selalu menceritakan badan kamu yang bau dan kumal…” Tanya Nenek Qodimah dengan kesal. “Peduli amat sih Nek… kita kan tidak menyusahkan mereka.” Jawab Lui enteng. “Siapa bilang kita tidak menyusahkan mereka Lui… hidup kita ini sangat bergantung pada belas kasihan mereka…” tambah sang nenek dengan suara yang semakin geram. “Ya sudah kalau memang Nenek merasa disusahkan olehku, Lui pergi saja dari kampung ini…” Jawab Lui kesal sambil menendang pintu rumahnya yang sudah sangat reot hingga terbuka. “Lui… kamu mau kemana?” teriak sang nenek sambil menangis. “KEMANA AJA…, yang penting TIDAK menyusahkan nenek…” Teriak Lui sambil berlari meninggalkan sang nenek yang terisak sendiri di gubuk tua di sore hari yang sangat mendung. Lui terus berlari di sore hari yang semakin gelap. Lui terus dan terus berlari dengan kesal. Tiba-tiba langkah Lui terhenti. Suara binatang malam membuatnya tersadar kalau dia sudah berlari sangat jauh masuk ke dalam hutan yang gelap. Tiba-tiba terdengar lolongan srigala di kejauhan membuat mata Lui terbelalak. Badannya gemetar ketakutan. Sesekali didengarnya suara burung hantu yang seperti tepat berada di dahan pohon di atas kepalanya. “Nenek… tolong aku nek…” teriak Lui sambil menangis ketakutan. Tak ada jawaban. Hanya gema teriakan Lui yang kembali, menambah ketakutan di tengah gelap gulitanya malam. “Nenek… tolong aku nek…” teriaknya lagi. Sekali ini suaranya tersekat oleh tangisnya yang semakin kencang. “Nenek… maafkan aku nek…, tolong aku… aku takut disini nek…” tangisnya, suara Lui semakin pelan. Badannya terasa lemas. Dia pun terduduk bersandar di pohon besar di dekatnya. Suara lolongan srigala kembali terdengar di kejauhan disambut jawaban burung hantu di atas kepalanya. “Heh… anak pemalas…” tiba-tiba Lui yang sedang menangis terperanjat oleh suara seorang nenek yang tak terlihat karena gelapnya malam. “ Si… siapa kamu…” teriak Lui sambil menahan rasa takut yang semakin menjadi. Terbayang di kepalanya cerita-cerita hantu yang sering diperbincangkan teman-temannya. “Tidak usah banyak tanya anak nakal…” jawab suara nenek itu lagi. “Jangan ganggu aku…” teriak Lui lagi. “Hek hek hek… dasar anak nakal… kau adalah santapanku malam ini hekhekhek…” ancam suara si nenek itu lagi sambil tertawa senang. Kali ini dari arah belakang Lui. “Jangan… jangan santap aku… aku masih ingin hidup…” tangis Lui ketakutan. “heehek hek… apa? Ingin hidup…? Badanmu yang bau itu pastinya sangat lezat… untuk santap malamku…” “Jangan… jangan santap aku, tolong jangan santap aku… tolong… ampun… aku belum ingin mati… aku masih punya nenek yang membutuhkanku.” tangis Lui semakin menjadi. “Apa…? Nenek…?” tiba-tiba suara nenek itu berhenti tertawa, seperti sedang berpikir. “Baiklah… kamu beruntung malam ini, aku kebetulan sudah kenyang…” lanjut suara nenek itu. Lui masih terus menangis ketakutan. “Tapi… sebagai gantinya, kamu akan kusihir menjadi kambing… karena baumu sama seperti kambing… hekhekhek…. Dan dengar kamu anak nakal… kalau kamu ingin menjadi manusia lagi, kamu harus memecahkan balon raksasa yang dijaga seekor harimau putih di gua Naga… Kalau kau masih ingin hidup berjalanlah kau ke arah timur. hek hek hek… ” Suara nenek itu kembali tertawa. Tiba-tiba terlihat sambaran kilat di langit yang gelap tak berbintang, disusul suara Guntur menggelegar. Hujanpun turun dengan lebatnya. Suara nenek tua tiba-tiba menghilang tak terdengar lagi. Lui berlindung di bawah rimbunnya pohon hutan dengan rasa takut yang seperti tak akan pernah hilang. Dua jam kemudian Lui tertidur kelelahan. Suara kokok ayam hutan jantan membangunkan Lui dari tidurnya yang sangat lelap. Pagi di hutan lebat itu mulai menjelang. Semburat merah kekuningan terlihat di ujung pucuk pepohonan yang hijau. Lui mencoba bangkit dari tidurnya. Tapi… aneh… kakinya seperti tidak mampu menahan berat badannya. Akhirnya dengan terpaksa, Lui berjalan merangkak dengan kedua kaki dan tangannya. Tiba-tiba Lui teringat kata-kata suara nenek tadi malam. “Apakah aku telah berubah menjadi…” Badan Lui bergetar dahsyat. Di dengarnya ada gemericik air tak jauh dari tempatnya berada. Dilihatnya ada mata air mengalir jatuh ke sungai kecil yang bening. Dengan susah payah dia merangkak mendekati sungai itu. Dengan hati yang sangat cemas, dia mencoba bercermin di air sungai bening yang mengalir dengan tenangnya. Tiba-tiba jantungnya seperti berhenti berdetak. Di aliran sungai bening yang tenang itu tak terlihat bayangan wajahnya sedikitpun. Yang dia lihat hanyalah bayangan seekor kambing muda berbadan gemuk dan kumal. (Bersambung…) ***Anda butuh data pertanian Indonesia? Kunjungi www.riceindonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H