Jika Anda ditanya arti konversi gabah kering giling (GKG) menjadi beras sebesar 62,74 persen, Anda pasti akan dengan mudah menjawab bahwa arti dari angka tersebut adalah jika kita menggiling gabah sebanyak satu kuintal maka kita akan memperoleh beras sebanyak 62,74 kg. Tapi bagaimana jika pertanyaannya adalah darimanakah angka 62,74 persen tersebut berasal? Mungkin tidak semua orang dapat dengan mudah menjawabnya.
Angka konversi GKG menjadi beras sebesar 62,74 persen yang sering disebut juga angka rendemen penggilingan lapangan merupakan angka yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian. Angka tersebut merupakan hasil dari Survei Susut Panen dan Pasca Panen Gabah/Beras yang dilakukan oleh BPS dan Kementerian Pertanian tahun 2005 hingga 2007 yang diintegrasikan. Angka 62,74 persen selain digunakan untuk memperkirakan beras yang akan diperoleh juga digunakan untuk menghitung susut penggilingan.
Rendemen laboratorium merupakan rendemen yang diperoleh dari percobaan penggilingan teliti di laboratorium yang diasumsikan tidak ada fisik beras yang hilang. Pengurangan bobot dari GKG menjadi beras diasumsikan murni dari berkurangnya kadar air dan kulit gabah yang terpisah. Rendemen laboratorium tersebut kemudian dibandingkan dengan rendemen lapangan yaitu rendemen penggilingan yang biasa dilakukan oleh penggilingan pada umumnya. Rendemen lapangan pada umumnya lebih rendah dari rendemen laboratorium akibat ada bagian fisik beras yang tercecer pada proses penggilingan. Selisih rendemen laboratorium dengan rendemen lapang inilah yang disebut susut penggilingan. Istilah rendemen sendiri mengandung pengertian persentase berat hasil penggilingan terhadap berat gabah (GKG) yang digiling.
Hasil Survei Susut Panen dan Pasca Panen Gabah/Beras tahun 2005-2007 menunjukan bahwa rendemen laboratorium sebesar 65,99 persen. Dengan demikian dapat dihitung susut penggilingan sebesar 3,25 persen. Artinya ketika penggilingan dilakukan ada potensi beras yang hilang sebanyak 3,25 persen.
Sebenarnya angka konversi GKG ke beras 62,74 persen baru resmi digunakan mulai tahun 2009. Sebelumnya angka yang digunakan adalah 65,00 persen yang merupakan hasil Survei Susut Pasca Panen 1987 dan Survei Gabah-Beras tahun 1988. Kemudian angka tersebut berubah menjadi 63,20 persen yang merupakan hasil Survei Susut Pasca Panen 1995 dan Survei Gabah-Beras 1996.
Selain konversi GKG ke beras, angka konversi lain yang cukup penting adalah angka konversi Gabah Kering Panen (GKP) ke GKG sebesar 86,02 persen. Artinya jika kita melakukan pengeringan 1 kuintal GKP maka akan diperoleh GKG sebanyak 86,02 kg. Angka konversi ini diperoleh dengan mengurangi 100 persen dengan dua komponen pengurang bobot akibat pengeringan yaitu pengurangan kadar air sebesar 10,71 persen dan kehilangan secara fisik sebesar 3,27 persen. Sebelum tahun 2009, angka konversi yang digunakan adalah 86,59 persen yang kemudian direvisi dengan survei serupa tahun 1995/1996 menjadi 86,51 persen.
Perlu hati-hati
Ketika kita menggunakan angka konversi ini untuk menganalisis ketersediaan beras maka perlu berhati-hati. Angka ini tidak dapat serta merta digunakan untuk mengkonversikan GKG yang diproduksi petani menjadi beras yang akan tersedia untuk konsumsi pangan. Angka tersebut hanya dapat digunakan untuk memperkirakan banyaknya GKG yang akan diperoleh jika dilakukan pengeringan dan banyaknya beras jika dilakukan penggilingan. Akan tetapi perlu diingat bahwa padi yang diproduksi petani tidak seratus persen menjadi bahan makanan. Sebagian tercecer pada saat pengangkutan dan penyimpanan baik gabah maupun beras. Sebagian gabah dan beras juga tidak menjadi bahan pangan tetapi digunakan untuk benih, pakan ternak, bahan baku industri makanan, dan bahan baku industri non makanan.
Hal lain yang perlu diketahui adalah survei yang dilakukan BPS dan Kementerian Pertanian pada tahun 2005 hingga tahun 2007 belum mengakomodir adanya pengaruh musim sebagai akibat kendala pendanaan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh pada variasi data yang diperoleh. Kadar air padi pada musim basah tentunya akan sangat berbeda dengan kadar air padi pada musim kering. Selain susut bobot atau kehilangan secara fisik sebenarnya ada kehilangan lain yang tak kalah pentingya yaitu susut kualitas. Sejauh ini survei besar yang ditujukan untuk mengukur susut kualitas belum pernah dilakukan.
Penulis adalah Kepala Seksi Evaluasi dan Pelaporan Statistik Tanaman Pangan, Badan Pusat Statistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H