Dering notifikasi yang tak pernah henti, pancaran cahaya layar yang membekas di mata, serta godaan konstan untuk terus menengok ponsel—ini adalah gambaran kehidupan saya beberapa waktu lalu.
Smartphone, sebuah perangkat yang dirancang untuk mempermudah kehidupan, justru berubah menjadi belenggu yang membatasi kebebasan saya.
Saya terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung, selalu haus akan informasi instan dan validasi sosial, tanpa menyadari betapa besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan saya.
Momen Kesadaran yang Mengguncang
Kesadaran untuk berubah mulai muncul ketika saya mengalami kelelahan mental atau burnout yang cukup parah. Setiap hari, saya merasa semakin sulit untuk fokus, lelah secara fisik dan mental, dan tak jarang merasa cemas tanpa alasan yang jelas.
Tidur nyenyak seolah menjadi sebuah kemewahan yang semakin langka, dan hubungan dengan orang-orang terdekat perlahan-lahan mulai renggang.
Hingga suatu malam, saya terbangun dari mimpi buruk—dalam mimpi itu, saya dikejar-kejar oleh ribuan notifikasi yang berkedip-kedip di layar ponsel saya, dengan bunyi dering yang nyaring dan getaran yang tak henti-hentinya.
Saya terbangun dalam keadaan panik, dan saat itulah saya menyadari bahwa ketergantungan saya pada smartphone telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Setelah malam itu, saya merenung panjang. Bagaimana bisa sebuah perangkat kecil dengan layar 6 inci mampu mempengaruhi kehidupan saya sedemikian rupa? Apa yang sebenarnya saya cari dari interaksi digital yang terus-menerus ini?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu mendorong saya untuk melakukan sebuah eksperimen pribadi yang pada akhirnya membawa perubahan besar dalam hidup saya.