Sinar matahari sore menyinari wajahku, terpantul dari gerobak tua yang didorong seorang nenek berkerudung putih. Di atas gerobak itu, tertata rapi cetakan-cetakan es puter dengan beragam warna menarik.
Aroma santan bercampur dengan wangi buah-buahan segar menguar, membangkitkan nostalgia masa kecil. Es puter, salah satu ikon es krim tradisional Indonesia, kini seakan menjadi pemandangan langka di tengah gempuran es krim modern.
Saya teringat saat masih kecil, setiap sore selalu tak sabar menunggu kedatangan penjual es puter yang lewat di depan rumah.
Sensasi dingin es yang mencair di lidah, dipadukan dengan manisnya sirup cocopandan, adalah kenangan masa kecil yang tak terlupakan. Namun, seiring berjalannya waktu, es puter dan teman-temannya seperti es lilin, es goyang, dan es gabus, mulai kehilangan pamornya.
Mengapa Es Krim Tradisional Mulai Terlupakan?
Untuk mencari tahu jawabannya, saya melakukan penelusuran ke beberapa sudut kota. Saya berbincang dengan Bu Tuti, seorang penjual es puter yang sudah berjualan sejak puluhan tahun lalu. Dengan nada sedih, Bu Tuti menceritakan bahwa pembeli es puternya semakin berkurang.
"Dulu, anak-anak berbondong-bondong membeli es puter saya. Sekarang, mereka lebih suka membeli es krim kemasan yang banyak dijual di minimarket," ujarnya.
Senada dengan Bu Tuti, Pak Bambang, seorang ahli kuliner, juga mengungkapkan pendapatnya.
Menurut beliau, ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan minat masyarakat terhadap es krim tradisional.
"Pertama, dari segi tampilan. Es krim modern terlihat lebih menarik dengan berbagai warna dan bentuk yang unik. Kedua, dari segi rasa. Es krim modern menawarkan banyak pilihan rasa yang mungkin belum familiar bagi es krim tradisional. Ketiga, faktor praktis. Es krim modern lebih mudah didapatkan dan tidak perlu dibuat sendiri," jelas Pak Bambang.