Di wilayah Banten, Indonesia, terdapat sebuah komunitas etnis yang dikenal dengan sebutan Suku Baduy. Suku ini memiliki kekhasan yang menarik, terutama dari segi kulit mereka yang kuning langsat. Mereka bukan hanya sekadar sebuah komunitas, melainkan juga cerminan dari keanekaragaman budaya Indonesia yang kaya.
Sesuai dengan peribahasa Sunda, ngindung ka waktu mibapa ka jaman begitulah masyarakat Suku Baduy. Mereka terkenal akan kemampuannya dalam mempertahankan budaya dan gaya hidup sederhana yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Meskipun hidup dalam kehidupan yang terisolasi, mereka tetap mengakui pentingnya beradaptasi dengan perubahan zaman. Suku Baduy menjaga tradisi mereka dengan teguh, namun juga membuka diri terhadap pengaruh luar yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan mereka.
Dalam setiap langkah kehidupan mereka, Suku Baduy senantiasa ngindung ka nilai-nilai tradisional yang telah terjaga selama bertahun-tahun. Mereka menerapkan kehidupan sederhana dengan mengandalkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan sebagai sumber mata pencaharian utama mereka. Namun, mereka tidak melupakan pentingnya beradaptasi dengan perubahan jaman.
Dalam upaya memperluas jangkauan ekonomi mereka, Suku Baduy tidak menjadikan perubahan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk tumbuh dan berkembang. Mereka menjual barang yang mereka hasilkan dengan komunitas di luar suku Baduy. Sebagai contoh, Ayah Sani, seorang pedagang madu dan kaneron dari suku Baduy, menjalankan perjalanan jauh ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Sumedang.
Dalam perjalanan ini, Ayah Sani menghadapi berbagai tantangan dan rintangan, tetapi semangatnya tidak pernah padam. Ia menggunakan sistem pembayaran yang terintegrasi untuk menerima pembayaran dari pelanggan di luar lingkungan suku Baduy, menjual produk madu organik hasil kerja keras suku Baduy kepada masyarakat yang lebih luas.
Kekayaan Budaya dan Tradisi Suku Baduy
Suku Baduy terdiri dari dua kelompok, yaitu Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Mereka tetap mempertahankan tradisi dan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, termasuk sistem ekonomi yang sangat unik. Mata pencaharian utama mereka adalah melalui kegiatan pertanian, dengan tanaman padi sebagai sumber penghidupan mereka.
Namun, meskipun terpencil dari perkembangan teknologi dan sistem pembayaran modern, suku Baduy juga memiliki keinginan untuk terhubung dengan dunia luar dan memperluas jangkauan ekonomi mereka.
Sebagai contoh, Ayah Sani -seorang pedagang madu dan kaneron dari suku Baduy, menunjukkan tekad dan semangat yang luar biasa dalam menjalankan bisnisnya. Ia melakukan perjalanan yang jauh dan menantang ke Jakarta, Bandung, dan Sumedang dengan berjalan kaki untuk menjual madu organik hasil dari pekerjaan keras suku Baduy.
Perjalanan Ayah Sani tidaklah mudah. Ia harus melewati berbagai medan yang sulit, seperti pegunungan, hutan, sungai, dan jalan setapak. Namun, semangatnya tidak pernah padam. Dengan membawa madu unggulan suku Baduy, Ayah Sani tetap berjalan dengan penuh ketekunan dan keyakinan bahwa produknya akan diminati oleh masyarakat di luar suku Baduy.
Saat melakukan transaksi jual beli dengan konsumen di Jakarta, Bandung, dan Sumedang. Tentu saja, Ayah Sani bertransaksi dengan uang tunai. Dimana, transaksi tersebut sangat rentan dan rawan kejahatan. Semisal uang hasil transaksi yang didapat dengan susah payah tersebut, basah kehujanan dalam perjalanan dari Jakarta kembali ke Baduy? atau hilang dicuri orang?