Berkenalan dengan karya Chairil Anwar yang profilnya melegenda sebagai pelopor angkatan '45 dalam sejarah sastra Indonesia, merupakan berkah yang patut disyukuri. Terima kasih tak terhingga karena Allah Swt., memberikan saya jiwa yang suka membaca dan cinta buku karya sastra sejak sekolah menengah. Sehingga nama besar Chairil Anwar tidak asing dalam ingatan, ia selalu terngiang dalam suara-suara puitisnya yang menggebrak jiwa.
Bagaimana 'Aku' mengejawantahkan kemandirian dan ego yang ada dalam diri seorang manusia. Bahwa seorang manusia yang merdeka secara paripurna, ia tidak akan bergantung kepada bantuan orang lain. 'Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang' selalu menjadi nyala yang berpijar dalam diri. Ya, saya selalu merasa bahwa puisi aku yang ditulis oleh Chairil Anwar adalah cetusan suara hati yang berasal dari ceruk dalam nurani.
Sebagai seorang anak dari desa terpencil ditambah lagi berkepribadian introvert, alias pemalu, pendiam, dan tertutup. Bahkan, saking pendiamnya, orang-orang menjuluki saya sebagai orang yang berbicaranya 'sabedug sakali'. Artinya, berbicara jika ada yang menyapa atau ada yang bertanya.
Jika tidak ada yang 'nakol' atau nanya. Mungkin sabedug sakali pun tidak. Saya pun mengakuinya, memang seperti itulah. Entah mengapa, saat itu saya merasa tidak bisa untuk banyak berbicara. Padahal, hati dan pikiran amat riuhlah berpendapat. Sebenarnya, banyak sekali kata dan kalimat yang ingin dicurahkan. Namun, saat akan membuka mulut untuk melisankan kalimat-kalimat itu. Hati saya selalu saja mendahului lisan, ia berkata : "Sudahlah, jangan banyak omong, tidak ada gunanya, tidak ada orang yang akan mau mendengarkanmu."
Akhirnya, saya menenggelamkan diri dalam debu-debu buku perpustakaan, buku diary, dan kertas-kertas ide yang berserakan dalam pikiran. Puisi 'Aku' karya Chairil Anwar adalah teman dan sahabat di kala saya merasa bahwa tidak ada orang yang mau dan mampu mengerti diri ini. Saya luapkan kegalauan, keresahan jiwa, pemberontakan, dan rasa cinta yang muncul saat sekolah menengah itu dalam untaian-untaian puisi. Chairil Anwar adalah guru pertama yang mengajari saya menulis puisi. Dia telah sukses menjadi guru yang tak kasat mata, santai, dan tidak menggurui.
Saya suka gaya dia saat memegang rokok di tangannya, terlihat sangat cool dan laki banget. Bahkan, dulu saya pernah berkhayal memiliki suami yang wajahnya seperti Chairil Anwar. Menurut pemikiran saya saat itu, laki-laki seperti inilah, yang akan mampu mengerti perempuan. Karena, dia berbicara melalui hati dan perasaannya. Laki-laki yang jago menulis puisi adalah laki-laki dengan jiwa yang bebas, pemikirannya kritis, dan halus serta lembut perasaannya.
'Aku adalah Aku'
Semua puisi karya Chairil Anwar saya suka. Tapi, puisi yang berjudul 'Aku' adalah satu-satunya karya yang membuat saya mampu bangkit dari keterpurukan saat itu. Ketika nilai-nilai ujian jelek, ada masalah dengan teman, dihina, dijelek-jelekkan, dan lain-lain. Maka, membaca puisi ini, saya tiba-tiba saja merasa bersemangat, termotivasi, dan optimis.
Puisi ini juga telah berjasa membangkitkan rasa percaya diri saya. Bahwa, kalau sampai waktuku, maksudnya tiba waktunya untuk meraih prestasi dan kesuksesan. Maka, aku akan tetap fokus pada tujuan itu, tidak akan mudah tergoyahkan oleh rayuan, tangisan, dan apapun juga. Termasuk juga rayuan, hinaan, rengekan dari 'kau'. Kata kau di sini bisa dimaksudkan orang sebagai kekasih, musuh, kawan, dan lain-lain. Bisa juga halangan atau rintangan dalam kehidupan. Berikut adalah puisi berjudul 'Aku' saya yakin semua orang sudah tidak asing lagi dengan liriknya.
Aku