Sebuah kalimat motivasi yang berbunyi, "Luangkanlah waktumu 15 menit saja dalam sehari untuk mempelajari hal yang kamu sukai, lakukan itu secara konsisten dan terus-menerus selama lima tahun. Maka, kamu akan menjadi ahli di bidang itu." Tanpa sengaja mampir dalam beranda media sosial saya.
Sebenarnya, bukan suatu kebetulan. Saya selalu yakin, jika tidak selembar daun pun yang jatuh, kecuali atas kehendak dan perintah Allah SWT. Begitu pun dengan kalimat motivasi itu. Mata saya melihatnya, lalu membaca, dan tertarik untuk menerapkannya dalam kehidupan. Ketergerakan itu, tentu saja sebuah nikmat yang luar biasa. Sejak Desember 2022, beberapa hari setelah membaca kalimat motivasi itu, saya bertekad untuk mempelajari secara serius satu hal yang menjadi hobi sejak duduk di bangku sekolah menengah, yakni menulis.
Artikel adalah genre yang menjadi fokus pertama dari hal yang akan saya pelajari setiap harinya. Kegiatan itu, biasa dilakukan di sekolah, saat proses belajar-mengajar usai. Saya memanfaatkan fasilitas wifi yang tersedia di sana. Maklum, di rumah belum pasang wifi. Untuk membeli kuota pun saya lakukan secara terbatas. Khusus untuk membuka whatssapp dan google classroom saja, mengecek laporan pengiriman tugas belajar peserta didik.
Alasan belum memiliki akses internet
Ada alasan khusus dan krusial, mengapa kami memutuskan untuk belum memasang fasilitas internet tersebut. Padahal, beberapa tetangga di sekitar perumahan sudah memasangnya. Kebiasaan anak-anak yang hobi main game adalah alasan khusus di balik penundaan tersebut. Kami khawatir, bila ada wifi di rumah. Mereka akan kecanduan game. Selama ini, ketiga anak saya hanya bisa mengakses game, youtube, dan internet saat saya dan suami pulang bekerja, pada pukul empat sore.
Beberapa kasus di lapangan yang saya akses melalui berita-berita di televisi, tentang dampak kecanduan main game pada anak. Sejujurnya membuat saya dan suami ketar-ketir. Bahkan, tidak hanya dalam berita saja. Pada kenyataannya di sekolah, saya juga menjumpai beberapa anak yang terobsesi pada game online yang menonjolkan kekerasan, senjata, dan darah.
Dampaknya ternyata sangat serius dan tidak main-main. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana anak tersebut matanya memandang lurus ke depan, begitu fokus, seakan-akan di hadapannya terpampang sebuah monitor atau layar hand phone. Lalu, tangannya mengepal dengan erat, seolah-olah dia sedang memegang stik game. Jari-jemarinya bergerak lincah dan liar di atas stik hayalan itu. Saat imajinasinya mencapai klimaks, bahwa game yang ia mainkan berhasil. Tanpa segan ia berseru dengan lantang, "Yes! aku menang." Padahal, saat itu suasana kelas sedang sunyi, semua peserta didik sedang fokus mengerjakan latihan soal yang diberikan oleh guru.
Aplikasi dari niat untuk belajar menulis artikel setiap hari
Ada beberapa langkah yang dilakukan saat mencoba untuk konsisten belajar tentang artikel setiap hari. Pertama, mencari info tentang lomba-lomba menulis artikel di google. Saya memilih untuk belajar artikel itu diawali dengan praktek menulis terlebih dahulu. Bukan dari teoritis, definisi, sistematika, dan tehnik-tehniknya. Karena, saya beranggapan bahwa belajar dari praktek itu lebih cepat progresnya. Kemajuan dan keberhasilannya lebih terukur. Namun, dalam hal ini saya memerlukan pembaca yang akan menjadi kurator atau penilai dari artikel yang ditulis. Oleh karena itu, saya putuskan untuk mencari info-info lomba.
Dalam proses pencarian itu, saya menemukan lomba penulisan artikel dari JNE. Terus terang saja, alasan pertama mengapa saya tertarik untuk ikut lomba adalah nominal hadiah yang ditawarkan. Mengutip pernyataan S. Gegge Mappangewa -Penulis novel dan langganan juara dalam lomba menulis, bahwa "Ketika mengikuti sebuah lomba menulis, pilihlah yang gratis dan berhadiah besar, agar kita berjuang secara maksimal dan optimal. Setelah itu, saat kalah kita tidak terlalu sakit hati, karena pasti peserta yang ikut lomba tersebut banyak dan berkualitas."