Lihat ke Halaman Asli

Isur Suryati

TERVERIFIKASI

Menulis adalah mental healing terbaik

Cerpen: Puzzle Luka

Diperbarui: 1 Juni 2022   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi puzzle luka | sumber: pixabay.com/modman

Kupandangi wajah Mas Teguh yang begitu tenang dan damai dalam tidurnya. Ku kecup perlahan tangannya yang berbulu lebat, hingga menggores pipiku. Menghadirkan sebuah nuansa yang cukup rumit untuk dilukiskan. 

“Kasihan, kamu Mas! Kelihatannya lelah sekali." Gumamku.

Pukul 20.00 suasana malam terasa sepi. Di usia pernikahan yang akan memasuki hitungan 12 tahun. Rumah tanggaku belum dianugerahi suara tangisan bayi. 

Aku terkadang rindu sekali hal itu. Ingin rasanya dari rahimku tumbuh benih Mas Teguh. Tapi, suamiku itu selalu berkata menguatkan, “Anak itu rejeki. Aku tidak menuntut kamu untuk punya anak. Hidup seperti ini, sudah cukup bagiku.”

Perlahan aku berjinjit meninggalkan kamar tidur kami yang hangat. Lingerie merah jambu masih tersampir di badan. Mas Teguh sering memuji badanku, tentu saja dengan kata-kata yang lurus dan tanpa ekspresi. 

“Tubuh kamu bagus.” Sudah saja. Padahal, sebagai perempuan, terkadang aku menginginkan pujian yang lebih dari itu. Minimal satu paragrap lah, ya.

Aku berjinjit ke arah tepian ranjang. Mengeluarkan koper Mas Teguh yang tadi kutaruh dengan sembarang di kolong tempat tidur. Aku membukanya perlahan, takut akan mengganggu tidurnya Mas Teguh. 

Kasihan, kalau dia harus terbangun gara-gara suara resleting koper. Satu persatu isinya aku keluarkan, semuanya baju-baju kotor. Mas Teguh adalah lelaki yang rapih dan disiplin. Semua baju kotor itu terlipat rapih dan dimasukan ke dalam kantong plastik. Jadi, aku mudah untuk membereskannya.

Setelah mengelap koper dengan cairan anti septic, aku menjinjing kantong plastik berisi cucian dan membawanya ke mesin cuci yang terletak di kamar mandi utama. Saat mengeluarkan isinya, pandanganku tertuju pada kain berwarna merah jambu. “Ini apa?” Aku bergumam. Tetiba saja jantungku berdesir.

Dengan tangan sedikit gemetar, kukeluarkan kain itu dari lipatan baju kotor. “Lingerie!” Hatiku tersentak kaget. Aku membolak-baliknya, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang kutemukan. Tapi, hatiku masih berupaya untuk berprasangka baik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline