Lihat ke Halaman Asli

Isur Suryati

TERVERIFIKASI

Menulis adalah mental healing terbaik

Pentingnya Mengisi Penuh Cangkir Kasih Sayang bagi Seorang Ibu

Diperbarui: 21 Maret 2022   21:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi ibu yang bahagia |pexels.com/Gustavo Fring

Hati saya sedih dan pilu sekali saat melihat berita di televisi tadi pagi. Bahwa seorang ibu di Brebes tega menghabisi nyawa anaknya sendiri. Saya melihat, betapa stres dan tertekannya mental ibu tersebut. Kepada polisi, dia mengaku bahwa dia tidak gila, dia hanya ingin disayangi dan diperhatikan suami. Dia juga mengaku ingin menyelamatkan anak-anak dari kesengsaraan. Dia tidak ingin anak-anaknya mengalami penderitaan seperti dirinya, tidak dibentak-bentak. Ibu Kanti Utami -nama ibu tersebut, bahkan mengatakan ingin mengganti namanya menjadi Muthmainnah, artinya jiwa yang tenang. Dia bercerita, bahwa dia merasa stres saat suaminya kontrak kerjanya habis dan menganggur. 

Selain depresi, stres, dan tertekan. Ibu ini juga tampak seperti memiliki luka batin, luka dan trauma masa kecil yang belum selesai, atau tidak ditangani. Dia menyebut bahwa sejak kecil dia selalu dikurung. Entah siapa yang mengurungnya, mungkin orang-orang terdekat, orang tua dan keluarga.

Sebenarnya, bukan kali ini saja, berita-berita tragis dan menyayat hati itu terdengar di media, terjadi di negara tercinta ini, dan pelakunya adalah malaikat tak bersayap bernama ibu. Masih ingatkah dengan ibu muda di Cipatat Bandung, yang membunuh dua anaknya, lalu bunuh diri. 

Dalam artikel ini, saya tidak berupaya membenarkan tindakan seorang ibu dalam bertindak kekerasan terhadap anak, apalagi hingga tindakan kriminal yang amat sadis, yaitu membunuh. Saya hanya ingin menyoroti satu hal saja. Bahwa, seperti pepatah Arab mengatakan, "Kullu syaiin sababa" artinya setiap perkara, peristiwa, masalah, kasus, dan kejadian yang terjadi di dunia, ada asal muasalnya, ada sebab-musababnya.

Nah, bagaimana seorang ibu yang dianggap sebagai malaikat bagi anaknya, bahkan dia akan rela mati, asal anaknya terus hidup. Jangankan menyakiti, memukul, dan menimbulkan luka. Ada semut kecil saja yang merayap di tangan buah hatinya, dia akan secepat kilat menyingkirkan semut tersebut. Karena, takut akan menggigit dan menyakiti anaknya. Bila dia sampai tega berbuat sekejam itu. Tentu saja, ada beberapa faktor besar yang menjadi pemicunya. Alih-alih menyalahkan dan menghakimi ibu tersebut, seharusnya kita melihat faktor eksternal yang ada di luar dia, termasuk suami dan lingkungan sekitarnya.

Bukan, ingin menyalahkan siapa-siapa. Namun, agar menjadi perhatian bagi semua pihak. Supaya kasus seperti ini tidak terulang lagi. Sebagai sesama perempuan, istri, dan ibu bagi tiga anak. Saya paham sekali, bagaimana rasa stres dan depresi yang dirasakan ibu Kanti. Jika perempuan yang lemah secara raga, lembut perasaannya, dan pendek pikirannya harus memikul beban di luar kemampuan yang ia mampu untuk menanggungnya. 

Dari mulai beban ekonomi, yang akhir-akhir ini begitu massif menekan masyarakat. Sebut saja drama minyak goreng, tahu-tempe, bensin, dan naiknya harga komoditi-komoditi pangan menjelang puasa. Belum lagi situasi anak sekolah secara daring, hanya ibu-ibu lah yang tahu bagaimana senewennya mengajari anak di rumah, apalagi anak usia TK dan SD. Suasana pandemi yang berkepanjangan, menguras ketegaran finansial hingga ke dasarnya, merenggut karyawan dari penghasilannya, mencerabut penghasilan dari sumbernya. Banyak pabrik dan perusahaan yang Mem-PHK karyawannya, beberapa job sepi dan bangkrut. Semua hal tersebut adalah beban yang amat berat bila harus ditimpakan semuanya ke atas pundak mahluk bernama perempuan, istri, dan ibu.

Apalagi, jika hubungan rumah tangga, antara suami istri tidak berjalan secara harmonis. Suami memperlakukan istri bukan sebagai partner, yang saling membantu dan meneguhkan. Tapi, hubungan beracun, suami yang selalu membentak, menyalahkan, komplain, ngomel, dan menyemburkan kata-kata kasar yang negatif dan merendahkan. Maka, wajarlah bila seorang istri depresi dan bertindak di luar akal sehat.

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kementerian Kesehatan RI, menunjukkan hasil jika perempuan lebih rentan terkena stres, dan depresi, dengan prevalensi depresi sebesar 7,4 persen. Sedangkan pada laki-laki prevalensi depresi hanya 4,7 persen. Data tersebut dengan jelas membuktikan bahwa perempuan memang sangat mudah depresi dalam kehidupannya.

Sebagai perempuan, memang terkadang pilihan itu hanya sedikit, tidak banyak yang bisa dilakukan, jika menghadapi semua tekanan bertubi-tubi tersebut, selain menanggungnya sendirian, dan depresi berkepanjangan. Apalagi, memang kita tidak dapat mengubah orang lain, suami, tetangga, mertua, bahkan orang tua dan anak kita sendiri. Tentu saja, yang dapat dirubah adalah sikap kita sendiri. Bagaimana meluaskan hati dan melapangkan dada agar masalah yang besar tersebut, muat dan cukup mengisi hati dan pikiran. Jikalau bisa, masalah sebesar apapun, tidak mempengaruhi hati dan pikiran seperti sesendok garam yang ditaburkan di atas danau.

Itulah, mengapa mengisi cangkir kasih sayang menjadi amat penting bagi seorang ibu. 

Cangkir kasih sayang adalah wadah emosi di dalam hati setiap manusia yang harus diisi dengan kasih sayang dan perhatian setiap harinya. Sumber untuk mengisi cangkir kasih sayang didapatkan seorang anak dari kedua orang tuanya. Bagaimana saat kecil, orang tua memperlakukan dan memperhatikan tumbuh kembang mereka. Jika, seorang manusia sejak kecil sudah mendapatkan isi dari cangkir kasih sayangnya dengan baik dan penuh. Maka, saat dewasa ia akan merasa nyaman dan percaya diri dalam bergaul, senang berbagi kebahagiaan, mudah menerima orang lain dan berempati, serta gampang memaapkan kesalahan orang lain.

Bagaimana seorang ibu mendapatkan dan mengisi cangkir kasih sayangnya? Tentu saja dari suami sebagai orang pertama yang memiliki kewajiban memenuhi isi cangkir kasih sayang bagi istrinya. Karena, setelah menikah seorang perempuan akan melepaskan diri dari keluarga besarnya, saudara-saudaranya, dan teman-teman serta lingkungan pergaulannya. Bagi istri, suami dan anak-anak adalah dunianya. Suami adalah satu-satunya teman yang dimilikinya. Maka, wajarlah seorang istri akan depresi dan hancur manakala suaminya bertindak acuh, tidak peduli, egois, dan kasar. 

Padahal, perempuan adalah sosok yang kuat dan tahan sakit. Dia bisa melakukan apa saja, dan memikul beban apapun, meski seluruh dunia menghujat dan mentertawakannya, asal seorang suami selalu mendukung, menghargai, dan berada di pihaknya. Namun, satu kali saja suami membentak, menghardik, dan meremehkannya. Maka, meskipun seluruh dunia mendukungnya, seorang istri akan merasa hancur hati dan perasaannya. 

Oleh karena itu, tugas suami adalah mengisi cangkir kasih sayang istrinya dengan kebahagiaan, perhatian, dan apresiasi. Bukan dengan materi, harta berlimpah, dan kemewahan. Walaupun, tidak menampik, bahwa tiga hal itu juga penting. Ingat sebuah dialog pada film anak, seorang anak bertanya kepada ayahnya, "Apa tugas ibu di dunia ini?" Si ayah menjawab, "Tugas ibu adalah berbahagia, agar ia bisa menciptakan anak-anak yang bahagia, menularkan bahagia yang ia miliki pada anak-anaknya." Si anak mengangguk-angguk puas dengan jawaban tersebut, lalu bertanya lagi, "Kalau tugas ayah?" Sang ayah menjawab, "Tugas ayah adalah membuat ibu bahagia, karena bila ibu tidak bahagia, bagaimana ia akan membagi bahagia untuk anak-anaknya?"

Namun, tidak semua suami yang memiliki pemikiran yang sama dengan suami dalam film anak tersebut. Bahkan, mungkin malah sekarang di dunia ini, suami-suami didominasi oleh pemikiran yang kekanakkan, tidak bertanggungjawab menafkahi, memanfaatkan materi dan tenaga istrinya, abai pada keluarga, mementingkan ego dan teman-temannya, dan lain-lain.

Nah, kalau itu yang terjadi dari mana seorang istri sekaligus seorang ibu mendapatkan sumber untuk mengisi cangkir kasih sayangnya, jika orang tua sebagai sumber lain untuk kembali mengisi cangkir kasih sayang sudah tiada?

Mendekat dan bersujudlah pada Allah

Dia-lah satu-satunya sandaran yang tidak akan mengecewakan. Jika seorang ibu mulai lelah dan depresi. Maka, curahkan segala keluh kesah dalam sholat dan sujud-sujud panjangmu. Agar Allah meluaskan dan melapangkan dada dan hati kita. Kita sebagai seorang ibu harus memiliki mental sekuat baja dan jiwa setangguh lautan. Hal itu akan kita dapat, saat memasrahkan segala persoalan kepada pemiliknya, yaitu Sang Maha Pencipta. Isilah cangkir kasih sayangmu wahai, ibu. Dari sumber kasih sayang yang tidak pernah tidur, kasih sayangnya selalu tersedia dan melimpah. Yakinlah, dengan menyerahkan semuanya pada Illahi, hidup akan terasa ringan dan mudah saja. Ibarat pepatah mengatakan, hidup itu mudah, yang sulit adalah pikiran kita.

Pandanglah wajah anak-anak saat mereka tidur

Satu-satunya alasan tetap bertahan untuk hidup, bagi seorang ibu adalah anak-anak. Saya paham sekali, bagaimana rasanya. Seorang ibu akan mampu menahan semua dera yang menghantam jiwa dan raganya, demi kebahagiaan anak-anaknya. Bahkan, jika ia harus bertahan dengan suami yang menyakitinya bertubi-tubi pun. Ibu yang wonder woman akan mampu berbagi kebahagiaan, mengisi cangkir anaknya dengan kasih sayang. Meski cangkir kasih sayangnya tidak pernah diisi oleh suaminya. Hal tersebut terjadi karena kasih sayang ibu terhadap anak-anaknya lebih besar dari rasa sakit, penderitaan, dan kesakitan yang dirasakannya. Memandang wajah anak-anak saat mereka tertidur lelap, dapat menjadi obat yang manjur bagi kelelahan dan rasa sakit hati seorang ibu. Karena, bila bukan untuk alasan lain, maka anak adalah satu-satunya alasan seorang ibu berjuang.

Me time bersama anak-anak

Untuk mengisi cangkir kasih sayang, seorang ibu harus memiliki waktu me time, yaitu waktu untuk diri sendiri. Tidak harus mahal kok, duduk bengong pagi-pagi sambil menyeruput kopi pahit, memandang orang yang lalu lalang. Atau bengong sambil ngemut permen lolipop, bertanam, mandi agak lama dengan berendam air hangat, menulis di buku diary, atau menonton sinetron di televisi dapat dijadikan pilihan me time yang murah meriah.

Reparenting atau mencari figur orang tua di lingkungan sekitar kita

Proses mengulang pengalaman dididik oleh orang tua yang buruk, saat kita kecil dapat disembuhkan dengan cara Reparenting. Carilah figur orang tua yang baik di lingkungan terdekat kita, lalu perhatikan bagaimana gaya parenting mereka. Terapkan rumus Amati Tiru dan Modifikasi (ATM). Bergaul secara karib dengan mereka, dan jadikan mereka seolah-olah adalah orang tua kita. Hal itu dipercaya dapat mengobati luka masa kecil, dan trauma pengasuhan yang dialami seseorang di masa kecil. Terapkanlah gaya parenting yang kita amati tersebut, dalam pengasuhan terhadap anak-anak kita. Secara tidak langsung, hal ini juga akan mengisi cangkir kasih sayang kita yang kosong.

Memang berat menjadi seorang ibu. Tapi, yakinlah jika Allah tidak membebani sesuatu di luar kemampuan kita sebagai mahluknya. Peluk hangat untuk semua ibu-ibu hebat yang ada di dunia. I love you, Mom. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline