Lihat ke Halaman Asli

Isur Suryati

TERVERIFIKASI

Menulis adalah mental healing terbaik

Cinta dan Kemurahan Rejeki, dari Nasi Liwet Turun ke Hati

Diperbarui: 16 Februari 2022   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi makan bersama nasi liwet | tribunnews.com

Suami berkata : 'Malam Minggu tanpa acara 'ngaliwet' itu bagai pergi haji tanpa membeli oleh-oleh, hambar dan gak berasa.' Kebiasaan kecil ini jadi perekat hubungan antara kami dan para tetangga komplek.

Jika Kompasianer berasal dari Jawa Barat, atau sering berkunjung ke daerah-daerah Pasundan. Maka, tentu akan mengenal tradisi memasak yang satu ini, yaitu 'ngaliwet' atau memasak nasi liwet. Mungkin, ada di antara Kompasianer yang bertanya, "Apa tuh nasi liwet?" 

Saya coba jelaskan, ya. Nasi liwet adalah nasi yang dimasak dengan cara diliwet, maksudnya beras dimasukan ke dalam wadah ketel terbuat dari alumunium yang tebal dilengkapi dengan handle (pegangan) untuk memudahkan penggunaannya. Ketel atau wadah tersebut dikenal dengan nama kastrol.

Bukan hanya beras yang dimasukkan ke dalam kastrol, ada beberapa bahan lagi, seperti : bawang merah, bawang putih, salam, sereh, cabe merah, tomat, dan lauk (ikan asin, atau telur) petai, dan garam atau bumbu penyedap. 

Agar rasanya gurih dan wangi, bisa ditambahkan sedikit minyak goreng, lalu tambahkan air sebuku jari atau secukupnya. Setelah itu, kastrol dijerang di atas api kecil. Tunggu masak, deh. 

Di jaman modern ini, anda bisa memasak nasi liwet dengan menggunakan rice cooker, lho. Rasanya tetap enak, kok. Hanya, mungkin keraknya saja yang agak sedikit. 

Karena, salahsatu keunikan dari makan nasi liwet itu adalah kerak yang gosong-kenyal. Sensasi menikmati kerak liwet ini, rasanya seperti makan keripik, tapi dibakar, ya. Alot-alot, keras, tapi sedap.

Sebenarnya, nasi liwet bukan hanya milik masyarakat Sunda. Nasi liwet dikenal juga di daerah Solo, Jawa tengah. Perbedaannya terletak pada satu bahan tambahan, yaitu santan. Nasi liwet di Solo memakai santan, sedangkan di daerah Sunda tanpa santan.


Sejarah ngaliwet

Tradisi ngaliwet pertama kali diketahui sebagai kebiasaan para petani. Jika ke ladang, mereka membawa bekal makan siang memakai kastrol, isinya yaitu nasi liwet yang dimasak bersama ikan asin. Dibawa dalam keadaan masih panas. Agar, ketika tiba waktunya makan siang, nasi liwet sudah agak dingin dan siap disajikan.

Seiring perkembangan jaman, nasi liwet mengalami peningkatan makna dan citra. Kini, anda tidak harus panas-panasan mencari liwet di kebun pak petani. Nasi liwet kini hadir di acara-acara penting masyarakat Sunda, seperti acara hajatan, arisan, reunian, bahkan acara menjamu para petinggi negara. 

Bila anda ingin menikmati nasi liwet bersama keluarga, tanpa harus capek-capek masak. Mudah dan praktis saja, banyak kok restauran dan rumah makan khas Sunda yang menyediakan paket nasi liwet. 


Dari nasi liwet turun ke hati

Uniknya, mutual habit suami yang doyan 'ngaliwet' ini, jadi awal kisah yang mempertemukan saya dan dia dalam mahligai pernikahan. Kalau sinetron, judul yang pas mungkin 'Nasi Liwet pembawa cinta'.

Saya dan suami awalnya dipertemukan di kost, kami penghuni satu kost-an. Nama kost-annya 'Anggrek Biru' terdiri dari sepuluh kamar, penghuninya campuran. Tiga kamar putri dan tujuh kamar putra. 

Saat itu tahun 2005, saya mengambil akta IV di sebuah perguruan tinggi swasta di Sumedang. Sedangkan dia bekerja sebagai pelaksana di dinas pendidikan kabupaten Sumedang.

Kebetulan sekali, saya nge-kost hanya hari Sabtu-Minggu. Dari Senin sampai Jum'at mengajar di sekolah sebagai tenaga honorer. Hampir tiap malam Minggu. Suasana kost-an berubah. 

Aroma nasi liwet, goreng ikan asin, goreng jengkol dan sambal terasi berseliweran. Itu semua, untuk pertama membuat saya dongkol. Karena semua prosesi 'ngaliwet' itu dilakukan di depan teras kamar saya. 

Maklum kost-an tidak menyediakan dapur. Kamar saya posisinya terletak di pojok, terasnya agak lebar dan tidak menjadi tempat lalu lalang. Otomatis teras itu menjadi tempat strategis untuk memasak.

Karena tradisi 'ngaliwet' itu, saya sedikit terganggu. Pertama, kalau mau keluar dari kamar,  jadi tidak nyaman karena harus melewati para lelaki yang sedang memasak. Mereka termasuk suami hobinya usil. Namanya juga lelaki, sukanya ngegodain wanita. 

Kedua, aroma toilet yang berubah jadi pesing jengkol membuat saya malas ke kamar mandi. Maklum, kost-an hanya menyediakan dua toilet untuk sepuluh kamar. Terpaksa deh tiap hari Minggu, saya bergerilya membersihkan toilet, menyikat dan memberinya pengharum ruangan.

Entah mengapa, bermula dari perasaan dongkol, lama-lama saya terkesan juga. Suami--penggagas dan donatur acara 'ngaliwet' itu diam-diam memperhatikan juga. 

Dia pernah curhat kepada saya tentang seorang wanita yang batal ia nikahi karena wanita itu lebih memilih pria lain yang lebih berharta. Terbit rasa kasihan di hati saya. Nasib mungkin telah membawa kami pada sebuah takdir untuk bersama. Saat itu, saya juga sedang patah hati, calon suami lebih memilih wanita lain.


Cinta dan kemurahan rejeki

Tahun pertama pernikahan. Saya dan suami jadi 'kontraktor' alias pengontrak rumah. Di tempat tinggal yang baru itu, suami amat supel dalam bergaul. Pertama kami datang. Malam Minggu di komplek itu berlalu dengan ceria dan gembira. 

Suami menjadi perekat yang menyatukan mereka. Dia yang jadi donatur, dia juga yang sibuk memasak. Ketika nasi liwet dan tektek bengeknya sudah jadi. Saya lihat senyum puas terkembang di wajahnya. Keringat yang berleleran membuatnya tampak bagai bintang yang gemerlapan.

Alhamdulillah. Sipatnya yang dermawan dan tidak perhitungan mengantarkan kami sekeluarga pada kemudahan rejeki. Dua tahun jadi 'kontraktor'. Tahun ketiga kami mulai bisa membeli rumah di salah satu komplek perumahan. 

Rumahnya sederhana, tapi lumayan bagus dan baru saja direnovasi. Satu persatu apa yang kami inginkan tercapai. Dari mulai kendaraan, sawah, kolam ikan, bahkan kebun dengan pepohonan yang berbuah lebat, seperti pohon durian, petai, jengkol, pisang, salak dan lain-lain.

Di tempat yang baru ini juga. Suami saya menularkan kebiasaannya 'ngaliwet' di malam Minggu. Kali ini bahan-bahan untuk acara 'ngaliwet' itu kami ambil dari kebun, sawah dan kolam sendiri. Tidak harus mengeluarkan uang dan membeli ke warung seperti dulu-dulu.

Tiap malam Minggu, area sekitar rumah kami selalu ramai. Apalagi bila bulan sedang terang dan bulat purnama. Anak-anak riuh berceloteh, berkejaran dengan sesamanya. Para orang tua berbincang di luar rumah 'ngabungbang' menikmati suasana terang bulan.

Suami menggerakkan beberapa tetangga untuk memasak nasi liwet. Saya jarang terlibat. Hanya melihat gerak-geriknya dari jauh. 

Kadang, saya keluar dari rumah ketika nasi liwet itu sudah jadi. Suami selalu memprioritaskan saya dan anak-anaknya. Dia kirimi kami sepiring nasi yang masih mengepul. Ikan bakar berlumur kecap dan irisan cabai, sambal terasi dan beberapa papan petai yang sudah dibakar.


Manfaat berbagi rejeki melalui tradisi ngaliwet

Kebiasaan kecil, berupa ngaliwet ini menurunkan rahmat Allah bagi keluarga. Suami dipermudah dalam mencari rejeki. Begitu juga dengan pekerjaan saya sebagai guru. Anak-anak tumbuh sehat dan cerdas, jarang sakit dan tidak rewel. Bila saya pergi ke sekolah. Anak-anak dijaga oleh pengasuh yang juga tetangga sebelah rumah. Dia menjaga anak-anak dengan baik. Selalu saja ada rejeki yang datang tidak disangka-sangka.

Entah itu tomat dari Cimanggung, gula dari Wado, sampeu wedang dari Tanjungsari bahkan beras dari Tanjungkerta. Semua itu kami terima dengan gratis tapi bukan gratifikasi. Itu semua ada karena sipat suami yang tidak pelit dan suka berderma.

Kebiasaan 'ngaliwet-nya' memang tidak hanya ia tularkan di komplek tempat tinggal. Tapi juga di tempat kerjanya. Hampir setiap hari, saya dengar dia bercerita, "Habis 'ngaliwet' Ma! Sama petai dan ikan jambal tadi di kantor." Dan, bau pesing pun memenuhi aroma kamar mandi.Tapi, kini saya tidak dongkol dan marah lagi dengan aroma yang satu ini. 

Makanan penambah napsu makan seperti petai itu sebenarnya sangat berjasa. Bersama-sama dengan nasi liwet, ikan asin dan sambal terasi ia menyatukan semua perbedaan. Dari mulai guru, pedagang, polisi, buruh bersatu menikmati nasi liwet.


Tradisi makan bersama yang menyatukan perbedaan

Ketika jari-jemari menyentuh nasi, tangan masuk ke mulut, fitrah alami manusia akan kebersamaan dan keindahan kasih sayang pun muncul. Ada nuansa indah yang hadir ketika saat itu terjadi. Kadang ada rasa haru bercampur bahagia menyelinap dalam kalbu. Alhamdulillah, rijki yang diberikan Allah untuk keluarga kami, menjadi rijki juga bagi orang lain.

Ada bahagia yang terselip indah. Saat nasi liwet, ikan bakar, petai dan sambal terasi itu licin tandas. Ternyata bahagia itu sederhana. Kita bisa bahagia hanya dengan melihat mereka bahagia. Tertawa ceria dengan mulut penuh. Perut kenyang hati pun senang.

Hingga sekarang, tiga belastahun pernikahan. Kebiasaan suami yang hobi 'ngaliwet' itu masih berjalan. Bahkan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging. Berkat nasi liwet yang pulen dan menggugah selera itu, kami menjadi keluarga yang bahagia, dekat dengan keluarga dan tetangga. (*)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline