Lihat ke Halaman Asli

Isur Suryati

TERVERIFIKASI

Menulis adalah mental healing terbaik

Siasati Euforia Saat Menerima Gaji Pertama

Diperbarui: 15 Februari 2022   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi menerima gaji pertama | sumber: pexels.com/Karolina Grabowska

Kutatap dua puluh lembar ratusan ribu yang disodorkan suami, lengkap dengan struk gajinya. “Gaji pertama, ...” Begitu ucapnya. Aku terpana. Ada haru yang tiba-tiba saja menyeruak. Setelah enam belas tahun menunggu. Akhirnya suamiku lulus jadi PNS. Mendapat gaji yang layak dan pengakuan dari pemerintah. Penantian yang begitu panjang dan melelahkan. Akhirnya, berbuah manis. (Diary tahun 2013)

Gaji pertama sebagai PNS

Saat suami menitipkan semua gaji pertamanya sebagai PNS, pada tahun 2013. Teringat kembali momen yang sama saat saya menerima gaji pertama. Tahun 2008 silam. 

Saat itu euforia menghampiri perasaan, begitu massif. Bagaimana tidak? Dua kali gagal tes PNS. Tahun ketiga, tanpa pantang putus asa. Meski dalam keadaan sehabis nifas, saya ikut tes lagi. 

Saat itu Emak berkata, "Ikut saja, Nyi! Mana tahu, kali ini bagian, Nyai." Alhamdulillah, do'a orang tua memang manjur, saya dinyatakan lulus. Senangnya minta ampun. 

Saat itu, saya bernadzar gaji pertama akan dihabiskan untuk syukuran, traktir keluarga dan teman-teman, sisanya untuk shoping-shoping memuaskan segala keinginan. 

Benar saja, hari itu juga gaji pertama langsung licin tandas. Menguap tidak berbekas. Tinggal tersisa dua puluh ribu di dompet. Tapi, walaupun begitu, hati saya merasa puas.

Momen bahagia itu seperti de javu. Saat suami menyodorkan struk gaji pertamanya. Saya malah merasa bahwa yang menerima gaji pertama itu saya. Lupa kalau itu gaji pertama suami. Nah lho. 

Di kantor, rekan kerja yang tahu suami diangkat PNS, dan hari itu mendapat gaji pertama langsung riuh, “Cie cie, yang suaminya lulus PNS, udah ngambil gaji ke Pemda, belum?” saya jawab saja, “Alhamdulillah, sudah Bu-Ibu ...” Sontak semua satu suara kompak sekali, “Traktirannya dooong!” 

Hari itu, saya tidak bisa menolak. Semua guru yang ada di sekolah, saya traktir. Hampir tujuh puluh orang. “Bakso aja, ya!” tawar saya. 

Bakso di seberang sekolah, lumayan enak, harganya juga sesuai dengan isi dompet. Sepuluh ribu rupiah per mangkok ditambah kerupuk tahu tiga bungkus besar. Satu bungkusnya masing-masing isi sepuluh kerupuk. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline