Selamat malam, sahabat Kompasianer tercinta. Malam ini, saya membaca sebuah curhatan seorang istri di media sosial. Dia curhat tentang suaminya yang hobi sekali 'memancing'. Namun, kalau pulang ke rumah, tidak pernah membawa ikan. Nah, tuh. Padahal, setiap kali meminta ijin sang istri untuk mancing, doi semangat sekali. Semua perlengkapan dan atribut perkolaman, doi hatam banget. Dari mulai joran, reel, kail, senar, umpan, pelampung, stopper, hingga swivel. Bahkan, hingga kostumnya pun style-nya mancing mania mantap. Seperti dalam acara-acara di TV.
Sekali, dua kali istrinya masih asyik-asyik saja. Apalagi jika sebelum pergi, sang suami membekali uang dulu untuk jajan. Dijamin, tidak ditelpon tuh hingga malam tiba. Tapi, kalau setiap hari, kerjanya hanya memancing. Tentu saja, lama-lama empet juga, ya. Kecuali, bila doi memang pemilik lapak pancingan, atau bekerja menjaga kolam pemancingan. Kalau, hanya peserta, bagai sebuah peribahasa, "istri di pelupuk mata tidak terlihat, ikan di seberang lautan terlihat"
Apakah kecanduan termasuk perilaku toksik?
Nah, setelah membaca kisah tersebut. Saya jadi berpikir, apakah kecanduan memancing, termasuk perilaku toksik? Karena, terkadang anda tidak mudah menangkap begitu saja, bahwa sebuah perilaku pasangan terhadap anda adalah toksik relationship. Toksik itu bersifat halus, semu, samar, dan tersembunyi. Tahu-tahu saja, pasangan anda merasa sedih, kecewa, dan tersakiti hati serta perasaannya. Ya, seperti itu tadi, kecanduan memancing hingga abai pada pasangan, bersikap lembut dan perhatian di rumah, tapi di luar rumah seperti buaya kelaparan. Seperti perilaku Aris terhadap Kinan, di serial Layangan Putus. Suka humor dan ngocol, bercanda-ria dengan keluarga di rumah. Namun, di luar rumah gosip pasangan ke sana ke mari. Ada juga, pasangan yang sangat baik, peduli, dan penuh kasih sayang, ternyata hanya ingin menguasai materi dari pasangannya. Ngeri, ya.
Walau banyak juga, perilaku toksik yang kasat mata, dilakukan oleh pasangan anda. Baik secara verbal maupun non-verbal. Umpama : memukul, menjambak, menghina, berkata kasar, mencaci pasangan di hadapan orang lain, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kalau, menurut pemikiran saya. Pasangan yang kecanduan akan sesuatu hal, lalu mengabaikan pasangannya. Maka, itu juga termasuk perilaku toksik. Seperti pada kasus di atas, kecanduan memancing. Masih banyak kecanduan-kecanduan lainnya. Seperti kecanduan main game, main tiktok, jalan-jalan, selfie, bahkan kecanduan ikut pengajian. Bila itu, akhirnya menyebabkan seseorang bersikap abai pada pasangannya. Maka, perilaku tersebut tergolong toksik.
Toksik relationship, penyebab, jenis, gejala, dan tipenya
Apa yang dimaksud hubungan yang toksik atau toksik relationship. Menjelang hari kasih sayang, kata ini menjadi viral. Saya juga jadi ikut-ikutan menulis tentang hal ini, ya. Toksik relationship ditulis pertama kali oleh Lillian Gllas, dalam bukunya yang berjudul Toxic People. Gllas memaparkan bahwa hubungan yang toksik adalah hubungan yang dibangun di atas konflik, persaingan, dan kebutuhan seseorang untuk mengendalikan orang lain. Hubungan ini dapat membahayakan kesehatan fisik dan mental bagi orang-orang yang menjalaninya. Hubungan toksik membawa pengaruh buruk bagi yang menjalaninya. Korban akan merasa diintimidasi melalui tindakan, kata-kata, dan perilaku.
Ada beberapa jenis toksik relationship yang dapat anda temui dalam hubungan anda. Tidak semata hubungan dengan pasangan. Perilaku toksik juga dapat ditemui pada hubungan keluarga, pertemanan, dan rekan kerja. Jika anda terus menerus merasa kecewa, sedih, lelah, depresi, stres, dan cemas berlebihan dengan hubungan yang anda jalani. Tentu saja, hubungan dengan siapa saja, baik pasangan hidup, keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja. Maka, dapat dipastikan jika anda berada dalam circle toxic relationship.
Cairo West Mag, menyebutkan bahwa ada 6 jenis toxic relationship. Apa sajakah itu? Yuk, dicek! jangan-jangan anda sebagai pelaku atau korban. Diantaranya : Membohongi vs Dibohongi, Memanifulasi vs dimanipulasi, memnafaatkan vs dimanfaatkan, meremehkan vs diremehkan, berhianat vs dihianati, menyebut orang lain tidak dapat dipercaya vs disebut tidak dapat dipercaya.
Sebenarnya ada alasan atau faktor penyebab, mengapa seseorang berperilaku toksik kepada orang lain. Dilansir dari cnnindonesia.com. berikut 3 penyebab orang berperilaku 'racun' atau toksik. Diantaranya :
1. Masalah pribadi
pelaku toksik memiliki luka atau trauma yang berasal dari masalah pribadinya. Umpama, dia diperlakukan buruk oleh orang lain, menerima penghinaan, pelecehan sewaktu kecil. Luka atau trauma tersebut tidak menemukan cara untuk pengobatan, dan tidak benar-benar dipulihkan. Dengan demikian, korban membawa trauma dan luka tersebut hingga dewasa, lalu menebar energi negatif tersebut kepada orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Jadilah, ia pelaku toksik kepada orang lain.
2. Gangguan kepribadian
Pelaku toksik yang diakibatkan oleh gangguan kepribadian. Biasanya dia tidak menyadari, jika perilakunya menyebabkan orang lain merasa tidak nyaman, sakit hati, kecewa, dan lain sebagainya. Orang dengan gangguan kepribadian seperti bipolar, narsistik, ambang, avoidant, dan dependent, mereka akan memiliki pola pikir, fungsi, dan perilaku kaku yang tidak sehat. Mereka mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang lain. Biasanya, perilaku toksik akibat gangguan kepribadian, akan muncul pada saat pelaku berusia 18 tahun. Di mana pada saat itu, dia mulai berinteraksi secara intens dengan orang lain, hingga rentan menimbulkan masalah.
3. Pola asuh keluarga
Orang yang tumbuh dalam didikan yang keras dari orang tuanya. Akan memiliki kecenderungan untuk bersikap keras juga kepada orang lain di sekitarnya. Itulah mengapa, pola asuh keluarga saat anak kecil, sangat dominan dalam menentukan perilaku seperti apa yang akan ditampakkan pada orang lain, ketika ia dewasa nanti. Menurut, Mira Amir -Psikolog keluarga mengatakan bahwa, pola suh otoriter, di mana orang tua mengarahkan anak untuk selalu mengikuti aturan yang diterapkan secara ketat. Orang tua meminta anak mengerjakan apa yang diperintahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Nah, pola asuh ini berpeluang menjadikan seorang anak berperilaku toksik kepada orang lain, saat ia dewasa. Jadi, hati-hati, ya para orang tua dalam menerapkan pola asuh yang cocok pada buah hati anda.
Ada 4 tipe seseorang dikatakan berperilaku toksik dalam hubungannya. Berikut saya rangkumkan untuk anda dari beberapa sumber.
1. Berperilaku abusif alias suka menyiksa, baik secara fisik maupun verbal. Menyiksa secara fisik, misalnya memukul jika pasangan melakukan kesalahan, bahkan kesalahan kecil sekali pun. Menyiksa secara verbal, dengan cara memaki dan melontarkan kata-kata merendahkan, menghina, dan menyakitkan. Orang dengan perilaku ini, akan mudah terpancing emosi dengan hal-hal yang sepele.
2. Mengeluh dalam segala hal, bahkan hal sepele sekali pun. Dia akan menebarkan suasana negatif dari keluhannya tersebut. Mengakibatkan hubungan jadi suram, tidak bahagia, dan dikelilingi aura negatif. Bagi orang ini, mengeluh ibarat sebuah rutinitas dan kewajaran. Ia akan merasa belum puas menikmati harinya, jika belum mengeluarkan kata-kata bernada keluhan.
3. Kecanduan adalah termasuk perilaku toksik. Semua hal bila berlebihan, akan memiliki dampak negatif. Kecanduan paling berat adalah ketagihan mengkonsumsi narkoba, minuman keras, judi, dan selingkuh. Setelah itu, masih ada banyak jenis-jenis kecanduan yang akibatnya tidak baik juga bagi stabilitas hubungan.
4. Posesif berlebihan, akan membuat pasangan merasa ketakutan. Karena, anda akan serba dikekang dan dilarang dalam segala hal. Bahkan, untuk urusan bertemu sahabat sekalipun, dengan alasan yang irrasional dan terkesan mengada-ada. Dengan pasangan yang posesif, anda akan terkungkung dan terbelenggu, sulit untuk mengembangkan potensi diri.
Lebih sulit bertahan atau melepaskan
Jika saat ini, anda berada dalam hubungan toksik dengan pasangan. Setiap hari yang anda lalui, selalu berisi kecemasan, kesedihan, merasa sendiri, diabaikan, tidak dianggap, merasa berkorban sendirian. Maka, itu berarti anda berada dalam hubungan beracun. Anda harus mulai menakar dan berhitung. Tulislah dalam buku harian anda. Kelebihan dan kekurangan dari dua pilihan yang tersaji di depan anda.
Yaitu pertama bertahan, anda selalu disakiti. Namun, keluarga tampak utuh dalam pandangan orang lain. Anak-anak tidak kehilangan status orang tua. Pilihan kedua, anda melepaskan. Dengan konsekuensi, ikatan biduk rumah tangga hancur, anak-anak untuk sementara di awal-awal akan broken home dan kehilangan pegangan, secara finansial akan terjadi kemandegan ekonomi. Apalagi jika anda tidak memiliki penghasilan.
#Hubungan Toksik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H