Lihat ke Halaman Asli

Isur Suryati

TERVERIFIKASI

Menulis adalah mental healing terbaik

Saat Tahi Bebek Menjadi Trending Topik dan Minornya Sense Of Empathy

Diperbarui: 12 Februari 2022   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi bebek |pexels.com/Ivan Rebic

Siapa yang tidak kenal pecel bebek? Dagingnya gurih, apalagi bila digoreng crispy. Dipadu dengan bumbu pecel yang khas, pedas-asam-manis, maknyoss!. Cocok sekali dilahap panas-panas dengan nasi hangat yang masih mengepul. Ditemani secangkir teh panas. Nyam! ... Nyam! uenak tenan! Tapi disini saya tidak akan menceritakan menu spesial yang menggoda selera ini. Saya akan bercerita tentang ‘Si Bebek yang menggoda jiwa’.

Dilema memelihara bebek di komplek perumahan

Entah mengapa, akhir-akhir ini saya merasa risih dengan nama hewan yang satu ini. Kata ‘bebek’ terasa begitu geli di telinga. Sebenarnya kalau harus curhat, saya memilih tinggal di komplek perumahan ini. Karena awalnya saya pikir. Hidup di perumahan tidak seperti di perkampungan biasa yang bebas memelihara hewan. 

Sebelum menikah saya tinggal di desa. Setiap hari membersihkan kotoran ayam yang menclok di lantai. Hiiiy ... sebenarnya saya jijik. Bentuknya yang tidak beraturan bagai amoeba, dengan tekstur coklat pekat dan baunya yang naudzubillah itu selalu sukses membuat saya mual.

Makanya, setelah menikah saya minta pada suami agar memilih rumah di komplek perumahan saja. Dengan alasan ya itu tadi, biar tidak membersihkan kotoran hewan berkaki dua itu. Tapi, sungguh malangnya nasib saya. Ternyata di perumahan yang saya tempati sekarang. Keadaannya malah lebih parah. 

Dulu, meskipun setiap hari saya harus membuang kotoran ayam. Tapi, ayamnya milik sendiri. Dagingnya bisa dimakan sendiri. Sekarang, lha kok ... bebek, milik orang pula. Saya kadang suka iseng mengintip mereka. Pagi buta, setengah lima pagi, empat bebek dengan goyang khasnya itu bergerilya ke setiap selokan. Pertama, selokan pinggir sebelah barat rumah yang jadi sasaran. Bunyi srok! Srok dari mulutnya itu bikin bulu kuduk meremang.

Apalagi, ketika mereka mulai menggoyang kakinya ke arah selokan saya. Di balik pintu saya mengendap-endap. Lalu, mengintip mereka yang sedang asyik sarapan. Sebenarnya, kurang kerjaan sekali, ya. Masih mending kalau berani mengusir. Malah, diintipin, hihi. Itulah, betapa terobsesinya saya pada mahluk yang namanya ‘bebek’ ini. 

Sebenarnya, belum ada aturan tertulis yang menyatakan bahwa warga penghuni komplek perumahan dilarang memelihara unggas dan sejenisnya. Karena, ya hal itu merupakan hak azasi setiap warga. Apalagi, bila ada alasan ekonomis dibalik proses pemeliharaan tersebut. Umpama untuk diambil telur dan dagingnya buat dijual, bisa menambah-nambah finansial. Namun, sebagai warga yang baik. Tentu saja, harus ada empati juga buat warga yang lain. Kalau bisa, mungkin bebeknya diberikan fasilitas kandang khusus, umpama di belakang rumah Si empunya.

Menurut saya, hal tersebut lebih bijak dan berperikemanusiaan. Ada beberapa keuntungan yang akan didapat pemilik bebek. Jika dia memberikan fasilitas kandang pada bebek-bebeknya. 

1. Meminimalisir keresahan warga yang komplain, akibat terganggu kenyamanannya dengan kotoran bebek.

2. Bebek lebih sehat, baik kondisi daging, telur, dan fisiknya. Karena, mendapatkan asupan makan yang teratur. Tidak mengkonsumsi makanan-makanan sisa dari selokan lagi. Meskipun, memang begitu ya, habitual bebek. Senangnya menyeruput air comberan.

3. Telur bebek akan terkumpul di kandang. tidak berceceran di mana saja. Hingga pemilik, akan dengan mudah mengambil telur-telur tersebut. Tanpa harus kelayapan bertanya, kepada setiap tetangga.

4. Kotoran bebek yang terkumpul dan terakumulasi di kandang, suatu saat setelah banyak dapat dijual. Ini menjadi keuntungan lagi bagi si pemilik. Daripada bebeknya eek di mana saja, kan.


Ada manfaatnya juga

Sebenarnya, kalau dipikir jernih. Hadirnya bebek di selokan saya itu ada gunanya juga. Pertama, bebek-bebek tersebut memakan sisa-sisa makanan basi yang saya buang, sehingga sisa makanan tersebut ada manfaatnya. Jadi tidak percuma kan? Kedua, selokan di lingkungan kami, jadi lebih bersih dan tidak mampet. Karena, setiap hari endapan-endapan lumpur campur sisa makanan disedot oleh para bebek tersebut. Ketiga, tidak ada lalat-lalat yang beterbangan di seputar komplek. Tentu saja, karena makanan yang biasa menjadi jatah lalat-lalat tersebut, sudah tandas dilahap oleh bebek.

Namun, kesalnya Si bebek itu tidak hanya numpang makan. Mereka juga ikut buang kotoran. Pagi-pagi buta sehabis sarapan itu, mereka langsung nongkrong di teras rumah saya yang tidak berpagar. Crot!crot!crot! lima bebek itu pup, dengan mukanya yang tanpa dosa. “Ya Allah, ...” Saya hanya bisa mengelus dada. “Bertambah lagi nih, lemburan ... pagi-pagi pula, mana belum sarapan, bikin perut mual bagai diaduk-aduk.” Pyuh!

Sense of Empathy

Menurut saya, yang minus dalam masalah kotoran bebek ini adalah sense of empathy. Baik pemilik bebek, maupun para warga komplek perumahan. Pertama, pemilik bebek bersikap egois, ingin menang sendiri, merasa bahwa memelihara bebek adalah hak azasinya. Terserah, orang lain mau bilang apa. Yang penting bebek-bebeknya bertambah gemuk, menghasilkan banyak telur, biaya yang dikeluarkan untuk membeli pakan dapat ditekan. Ketika kotoran bebek berhamburan di mana-mana. Itu salah bebek sendiri. Bukan, kesalahan si pemilik. Lalu, bila bebek membuang kotoran di teras. Si pemilik bebek melakukan pembenaran, "Salah sendiri, rumahnya tidak dipasang pagar."

Kedua, para warga komplek juga merasa bahwa hidup dengan nyaman, tanpa rutinitas membuang kotoran bebek di terasnya adalah hak azasi mereka. Tidak mau tahu, apapun alasan dari pemilik bebek, mengapa ia membiarkan bebek-bebeknya berkeliaran.

Sebagai informasi sense of empathy adalah kemampuan untuk dapat ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dengan kata lain, empati adalah memposisikan diri kita, bagaimana sikap dan perasaan kita. Jika berada pada posisi orang yang sedang menderita, kesusahan, dilanda kesedihan, dan lain sebagainya.

Nah, hal inilah yang minor atau kurang dari pemilik bebek sebagai seorang individu bermasyarakat. Yang membuat perasaan warga tambah enek adalah, itu sang empunya bebek. Lha kok, tidak berperasaan sekali. Sudah punya peliharaan enggak diurus, dibiarkan berkeliaran tak bertuan. Eh, ketika telurnya hilang satu, baru kelayapan. Mengetuk setiap pintu rumah, bertanya, “Ada yang menyimpan telur bebek saya, gak?” coba, bagaimana hati ini   berduri?

Keluhan yang mirip aksi protes ini, sebenarnya tidak keluar dari mulut saya saja. Tapi hampir dari semua tetangga yang merasa risih dengan kelakuan Si Bebek. Lebaran kemarin bahkan ada tetangga yang berkata, “Bebeknya disembelih saja, bikin opor untuk lebaran, ... bagi enam!” 

Polemik

“Itu yang empunya, apa ga jijik ya, ... kebayang nanti kalau disembelih, uek! Saya mana berani makan bebeknya. Sekarang saja saya jadi gak suka sama daging bebek. Padahal, dulu doyan banget!” Ucap tetangga sebelah rumah.  Tangannya memegang ember, baru saja menyiram kotoran bebek dari teras rumahnya.

“Gak dimakan sendiri, kali, Bu! Bebek gendut begitu, kalau dijual pasti lakunya mahal.” Ibu-ibu yang lain ikut menimpali.

“Itu yang bikin saya khawatir, Bu ... Bapaknya anak-anak suka sekali makan pecel bebek. Gimana kalau bebeknya yang itu, hiiiy gak kebayang!” Ibu tetangga belakang rumah menambahkan, mendengar hal tersebut saya bergidik. Terbayang, bagaimana suami yang doyan banget dengan pedesan entog. Bila sedang makan dengan menu yang satu itu. Kadang dia suka kalap, lupa menyisakan untuk anak dan istri. 

“Apalagi, selokan kita kan segala ada, berapa macam kotoran dan bakteri bejibun disana.” Ucap Tetangga pinggir rumah ikut bergidik.

Ya, dalam hati saya sepakat. Pastilah di dalam tubuh bebek itu, kalau dilihat di mikroskop ada berpuluh juta mikroba. Coba tengok, selokan saya ada kotoran anak yang kadang terbuang lewat selokan. Tetangga sebelah tiga-tiganya mengidap diabetes, mungkin ada air kencingnya yang terbuang ke selokan. Hiiy ... jangan-jangan gendutnya bebek-bebek itu ada hubungannya dengan itu.

Bebek, oh bebek

Apapun yang terjadi. Bebek hanyalah hewan yang tidak berakal. Bukan salah mereka bila jadi biang masalah di komplek kami. Kembali lagi kepada manusia yang memilikinya. Dialah yang seharusnya berperikehewanan. Tidak membiarkan hewan peliharaan berkeliaran bebas, mengumbar kotoran di teras orang. 

Alhamdulillah, Saat ini masalah bebek yang pernah menjadi trending topik dalam beberapa bulan terakhir di komplek saya sudah selesai. Meskipun tanpa musyawarah, tidak ada yang berani menegur, tidak melapor ke RT. Karena, mungkin warga terlalu naif untuk bisa menegur orang. Jadi, ya begitulah “Sekeras apapun warga mengeluh, sang bebek tetap asyik menyedot sari-sari selokan dan seenaknya pula buang kotoran di teras kami. Problema selesai, setelah satu demi satu dari bebek-bebek tersebut dikabarkan hilang, mati, dan laku terjual.  (*)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline