Awal mula merawat kucing
Saya lumayan memperhatikan perjalanan hidup kucing. Ya, karena saya yang bertanggung jawab mengurus dia. Dari mulai memberi makan 3 kali sehari. Memandikan seminggu sekali, tiap hari Jum'at saya kontak jasa grooming kucing. Lima belas menit kemudian Abang Grooming datang membawa tas untuk membawa kucing. Tiga jam kemudian kucing sudah bersih diantar ke rumah. Saya tinggal bayar Rp. 50.000. Praktis kan? tidak harus drama cakar-cakaran. Karena anabul tidak mau mandi. Hampir seratus persen saya yang urus semua keperluan mereka. Jadi, ada banyak waktu saya berinteraksi dengan kucing-kucing tersebut.
Saya sejujurnya tidak suka kucing. Pertama, saya memiliki riwayat asma, jadi kalau ada alergen pemicu seperti debu dan bulu kucing. Asma so pasti kambuh. Kedua, saya tidak suka suara bisingnya. Mengeong ramai dan berisik membuat otak saya terasa keriting. Ketiga, saya tidak suka ada bulu-bulu kucing nempel di kursi dan di kasur, rasanya jijik saja.
Namun, malang tidak dapat ditolak, untung lah yang diraih. Putra saya si tengah. Dari umur tiga tahun sudah menampakkan minatnya pada hewan berbulu ini. Tiap ada kucing lewat depan rumah. Dia akan langsung menggendongnya, memberi makan, dan membawa ke rumah. Berkali-kali saya katakan padanya, "Jangan bawa ke rumah, kasih makan di luar saja. Mama punya asma."
Namun tetap saja dia tertarik dengan kucing. Bahkan, mungkin kucing juga tahu ya. Siapa orang yang baik dan sayang kepadanya. Tiap si tengah ke mana saja. Umpamanya diajak jalan-jalan ke alun-alun, nongkrong di lapang sepakbola, jajan di pinggir jalan. Entah kenapa, selalu saja ada kucing yang mendekat. Berputar-putar mengelilingi Si Tengah, mengibas-ngibaskan ekornya, kepalanya digosok-gosokkan ke badan anak saya. Ada saja tingkah 'aneh' para kucing ini.
Bahkan pernah suatu kali, saya sekeluarga berwisata ke Talaga Reumis di Kuningan. Kami naik agak ke hutan dari telaga tersebut. Seharusnya sih, tidak ada kucing lah ya. Secara jauh dari pemukiman penduduk. Tapi, ladala ... ku lihat Si Tengah sedang asyik mengelus-elus anak kucing dan ngobrol seru sekali. Seperti bertemu dengan teman lama.
Drama merawat Si Boy
Pada saat Si Tengah ulang tahun yang keempat. Diam-diam suami saya membelikan seekor anak kucing jenis anggora. Saya kesal sekali pada saat itu. Padahal, dia juga sebenarnya tidak suka kucing. Bahkan kalau ada kucing masuk rumah. Suami kadang mengusirnya dengan kasar.
Namun, ternyata benar kata pepatah, "Rasa sayang kepada anak, mengalahkan ego sendiri." Ya, akhirnya mau tidak mau saya harus menerima. Si Tengah tahu bapaknya memberikan kucing sebagai hadiah ulang tahunnya. Girangnya bukan main. Tiap hari anak kucing itu dielus, dicium, dan dipangkunya. Dia memberi nama anak kucing itu 'Boy".
Si Boy tumbuh dalam asuhan saya. Badannya sehat dan besar, bulunya putih 'buluk' dan gimbal. Ekornya panjang dan melengkung. Untuk kategori kucing, Si Boy ini terbilang tampan dan gagah. Di komplek tempat saya tinggal. Si Boy sangat terkenal. Baik di kalangan kucing, maupun di kalangan manusia. Bila dia lewat dengan gagahnya. Setiap orang yang berpapasan akan menyapa, "Hai, Boy!" Namun, anehnya kepada saya sebagai induk semangnya malah tidak pada kenal. Hadeuh, saya kalah populer nih.
Sebagai informasi, dulu Si Boy saya kurung di kandang, makan minum, dan boker dalam kandang. Namun, karena suatu tragedi. akhirnya, Si Boy saya lepas, biarkan dia bebas. Mungkin karena dia jenis kucing angora yang manja dan daya tahan tubuhnya rentan. Bila salah sedikit saja dalam perawatannya. Akan menyebabkan mudah tertimpa penyakit.
Suatu hari air minumnya saya lupa ganti. Padahal biasanya pagi-pagi. Secara rutin saya bersihkan bekas kotorannya, jemur pasir, ganti air minum dan kasih makan. Nah, hari itu saya sibuk sekali. Ada acara di sekolah yang mengharuskan saya berangkat pagi. Si bungsu yang masih bayi agak rewel, tidak mau ditinggal.
Ya, sudah saya lupa ganti air minumnya. Pulang sekolah saya lihat Si Boy seperti kesakitan. Matanya kuyu dan tampak lelah. Seharian dia terbaring dan tidak mau makan. Kotorannya berserakan di kandang. Nempel ke bulu-bulu dan badannya. Karena putus asa, jijik, dan kasihan. Saya telepon Si Abang grooming. Tapi, dia menolak dengan alasan takut menulari kucing-kucing yang lain. Akhirnya saya telepon gojek, itu pun dengan beberapa kali penolakan. Si Boy pun berhasil dibawa ke dokter hewan. Selama dua hari dia mendapat perawatan dan harus diopname.
Setelah pulang dari perawatan. Saya memutuskan untuk memberikan Si Boy pada orang lain. Namun, rumahnya yang berdekatan. Si tengah melihat kondisi kucingnya seperti itu. Dia pasrah juga mengikuti saran saya. Alhamdulillah tetangga ada yang bersedia mengurus. Tiap bulan saya berikan uang untuk jatah makan dan mandi Si Boy kepadanya.
Si Milo datang dalam kehidupan kami
Drama perkucingan tidak selesai sampai disitu. Pada bulan kedua setelah Si Boy diadopsi tetangga. Si Tengah pulang ke rumah dengan keringat berleleran dan anak kucing berbulu calico di tangannya. Masih bayi sekali tampaknya, ringkih, dekil, dan tidak berhenti mengeong. "Ma, kasihan ibunya meninggal, dirawat ya, Ma!" Dia memohon.
Sebenarnya saya sudah enek dan capek. Harus bekerja pulang sore, di rumah ada tiga anak yang seratus persen masih dalam pengawasan. Ini ditambah lagi dengan harus ngurus anak bulu. Tapi, ya itu tadi. Saya tidak mampu menolak tatapan mata anak saya. Dia mengiba dan memelas. Ya, sudah boleh deh. Asal kalau Magrib kucingnya tidur di luar. Dengan berat hati, Si Tengah menyepakati perjanjian itu.
Kucing berbulu calico itu ternyata berkelamin betina. Si Tengah memberinya nama 'Milo'. Kini, Milo sudah berusia 3 tahun. Kalau diukur dengan usia manusia. Mungkin dia sekarang berumur 28 tahun. Usia yang cukup matang untuk memiliki anak. Beberapa kali memang saya lihat kucing jantan mengantarnya pulang. Ikut masuk ke dalam rumah. Terkadang ikut menikmati whiskas yang saya hidangkan. Saya tidak ambil pusing. Coba memakluminya. Saya juga dulu pernah muda. Tidak nyaman kalau serba dikekang. Mungkin kucing juga begitu ya.
Si Boy yang sekarang sudah bertransformasi menjadi kucing liar. Sejak ada Si Milo. Dia juga kembali jadi kucing kami. Hanya bedanya, sekarang dia jadikan rumah saya sebagai tempat persinggahan. Sekedar untuk makan, silaturrahmi kepada kami, dan bercengkrama dengan Si Milo. Pada awalnya saya lihat Si Boy menganggap Si Milo sebagai adiknya atau sebagai anaknya. Mungkin. Karena mengingat perbedaan usia mereka teramat jauh. Si Boy berusia tujuh tahun hampir delapan. Jika dihitung usia manusia. Sekarang dia akan berusia 48 tahun. Namun akhirnya, Si Boy juga terpikat oleh kecantikan Si Milo. Saya lihat mereka berdua berkencan.
Cara menghitung usia kucing
Sebagai informasi, ada cara menghitung usia kucing dengan tepat menurut American Animal Hospital Association (AAHA) sebagai berikut :
Satu tahun pertama kucing sama dengan 15 tahun umur manusia.
Tahun kedua kucing sama dengan sembilan tahun tambahan dari tahun pertama.
Setelah tahun kedua, tambahkan 4 tahun ke usia kucing yang akan kamu hitung
Contoh : kucing kalian berusia 4 tahun artinya, 15 tahun untuk tahun pertama ditambah 9 tahun tambahan untuk tahun kedua, kemudian ditambah 4 tahun tambahan untuk tahun ketiga, ditambah lagi 4 tahun untuk tambahan tahun keempat. Rumusannya akan tampak seperti ini : 15 + 9 + 4+ 4 = 32
Jadi, usia kucing kalian yang berumur 4 tahun bila dihitung dengan umur manusia adalah sama dengan 32 tahun.
Si Milo jadi ibu yang baik