Lihat ke Halaman Asli

Musafir

Pegiat Literasi

Memilih Mendamaikan Hati dan Pikiran

Diperbarui: 21 Mei 2023   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Istimewa

Hantaman bertubi-tubi lalu mengais sisa-sisa harapan yang tercecer antara seolah kuat atau mengungkapkan bahwa ada segenggam gerimis menghujani perih yang tak sempat sembuh.

Dibalik topeng senyum dan tawa bergelagak, ia sementara menahan setiap sayatan demi sayatan. Ia meringis menahan piluh dibalik tawanya.

Disudut ruangan itu, ia bercerita tentang menggenggam sebatang mawar penuh duri. Semakin kuat ia menggenggam, semakin dalam duri-duri liar menyayat hingga terkoyak.

"Kenapa harus menggenggam?" tanya pada hampa yang diam tak bersuara.

"Bodoh, kau tak lebih sakit dari sepih yang kau ikat direlung jiwamu," hampa menghentak dibalik bilur-bilur yang kian meringis.

Kau tak perlu berpura-pura kuat meski nyatanya yang kau genggam itu hati dan pikiran. Sama-sama terluka usai bertarung setiap waktu.

Disudut ruangan itu, ia meluapkan semua rasa menggerogoti setiap apa yang dilihat dan yang dapat dirasakan.

"Ah sudahlah, kau hanya perlu menerima kenyataan bahwa sepih pun teman terbaik untuk bercerita tentang hidup. Untuk mendamaikan hati dan pikiran yang terus memberontak."

Kau hanya butuh suasana dan waktu yang tepat untuk menyembuhkan keduanya. Tak perlu kau risau karena yang terbaik sekarang bukan bercerita pada kata sepih tetapi menerima kenyataan bahwa ini bagian terbaik menerima diri sendiri.

Selamat menikmati senja yang hampir karam di ufuk barat. Hingga pada akhirnya ia juga pergi ketika malam datang.

Kefamenanu, 21 Mei 2023




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline