Lihat ke Halaman Asli

Isti Yogiswandani

TERVERIFIKASI

Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Jejak Rel Memori, Kenangan tentang Logawa sampai Gajayana Madiun-Jakarta

Diperbarui: 27 Oktober 2024   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pramugari kereta mengingatkan penumpang yang sudah harus turun di stasiun tujuan (dokpri)

"Masih kurang seperempat jam, Wuk!"

"Cukuplah, Mbak. Yuk nerabas lewat rel saja!" Tiwuk, adik kostku menyemangatiku yang nyaris putus asa. 

Kami bergegas menuju stasiun Jebres. Stasiun kecil dengan bangunan kuno yang sepi. Tapi itu stasiun terdekat dari tempat kost kami di samping UNS, tempat kami menimba ilmu.

Biasanya kami mudik naik bis, dari Solo ke Jogja, dan lanjut ganti bis ke Purworejo. Saat itu tarif naik bis dan kereta api nyaris sama, 2200 rupiah. Kereta yang kami naiki adalah kereta Logawa yang melewati rute Solo-Kutoarjo, sehingga aku yang mudik Purworejo, dan Tiwuk yang rumah nya di samping stasiun Kutoarjo bisa bersama -sama naik KA Logawa .

Sebenarnya perjalanan dengan kereta lebih panjang, karena Aku harus turun Kutoarjo, dan berbalik ke arah Purworejo naik kopada. Tapi naik kereta api tentunya lebih menarik dan berkesan, tidak membosankan meski sekitar 3 jam harus tetap berada di dalam gerbong.

Dan salah satu hal yang membuat nyaman, naik kereta tidak pernah membuatku mual seperti yang kadang-kadang terjadi kalau naik bis. Mungkin karena perjalanan kereta relatif stabil, dan tidak bau bahan bakar.

Sebelum berangkat, biasanya kami mampir di warung anak kost yang harganya relatif murah, memesan nasi bungkus untuk dimakan di kereta bersama minumnya. Makanannya lebih enak, tapi jauh lebih murah. Kalau beli di kereta harganya bisa 2x lipat. Tentunya sangat tak ramah untuk kantong mahasiswa perantau seperti kami.

Sepertinya sampai sekarang tidak berubah, makanan di kereta masih tetap mahal, entah kenapa bisa begitu. Mungkin jauh lebih mahal, karena sekarang membeli makan di kereta disediakan oleh pramu kereta, dan biaya marginal lebih besar.

Kalau dulu masih ada pedagang asongan. Tapi harganya juga relatif mahal dan terkadang menipu. Seperti nasi bungkus yang dilabeli nasi daging, dagingnya hanya sebesar kelereng. Yang lauk telur hanya ada 3 irisan telur dadar sebesar korek api. Hahaha...

Itu kenangan saat mudik naik kereta api kelas ekonomi. Meski kondisinya saat itu belum sebersih sekarang, tetap saja naik kereta api terasa lebih nyaman dan istimewa.

Di era kepemimpinan Ignatius Jonan, terjadi perubahan besar pada moda transportasi kereta api, yaitu :

- Pedagang asongan tidak diperbolehkan naik ke atas kereta, bahkan dilarang masuk stasiun 

- Penumpang kereta harus mempunyai nomor kursi, sehingga pasti mempunyai tempat duduk.

-Kereta api ekonomi sudah ber AC.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline