Pantai Dewa Ruci adalah salah satu destinasi wisata yang bisa dikunjungi saat mudik pansela. Pantai yang mengusung slogan Pariwisata berkelanjutan ini berlokasi di Desa Jati Malang, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.
Awalnya, pantai Dewa Ruci lebih dikenal sebagai pantai Jatimalang. Tapi sejak mengalami penataan dan menjadikan pantai ini sebagai pariwisata berkelanjutan maka dibangunlah ikon berupa patung dewa Ruci,untuk memikat lebih banyak pengunjung. Pantai ini juga berganti nama menjadi Pantai Dewa Ruci.
Dari mulai parkir dan tiket masuk , wisata ini dikelola desa. Masyarakat sekitar juga membuka warung makan, menyewakan saung dan pemandian serta arena bermain anak-anak yang dibutuhkan pengunjung dan mendongkrak ekonomi masyarakat sekitar.
Sebagaimana pantai selatan pada umumnya, Pantai Dewa Ruci mempunyai ombak yang besar dan tak terduga, sehingga butuh kehati-hatian dan waspada saat berwisata ke Pantai Dewa Ruci.
Mengapa dinamai Pantai Dewa Ruci?
Dewa Ruci adalah Dewa kerdil, tokoh dalam kisah pewayangan yang dijumpai Bima, salah satu tokoh Pandawa lima yang diutus gurunya, Resi Durna untuk mencari air kehidupan, yaitu Air Suci Prawita Sari agar bisa mencapai kesempurnaan hidup.
Padahal, ada yang beranggapan perintah ini sesungguhnya hanyalah siasat untuk melenyapkan Bima supaya tidak ikut serta dalam Perang Bharatayuddha yang sedang dipersiapkan. Tapi Bima patuh tanpa melawan untuk melaksanakan kehendak gurunya.
Dari sinilah awal kisah Dewa Ruci bermula.
Dikutip dari laman javanologi.uns.ac.id, yang ditulis oleh Rico Surya Putra Susila, Kisah Dewa Ruci merupakan interpolasi Mahabarata, sehingga tidak dijumpai dalam kisah Mahabarata versi India.
Kisah Dewa Ruci adalah filsafat yang menjadi rujukan mencapai kesempurnaan hidup orang Jawa.
Kisah Dewa Ruci sering dipentaskan sebagai lakon wayang kulit. Kisah Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dalang, yang ditulis Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820).
Yasadipura I dikenal sebagai pujangga "penutup" Keraton Surakarta.