Membaca banyak ulasan tentang hadiah untuk guru yang bermacam-macam saat kenaikan kelas, menuntun ingatan saya pada tradisi berpuluh tahun lalu yang sekarang sudah hilang.
Tradisi itu mungkin sekarang menjadi sesuatu yang aneh.
Dari artikel Mbak Martha Weda tentang amplop untuk guru yang bisa mencapai 3 jutaan, hadiah puisi untuk guru, hadiah makanan, pakaian, foto, atau barang-barang unik untuk guru dan lain-lain, dari yang setuju, tidak setuju, menghargai sampai menganggap sebagai gratifikasi, saya memilih netral.
Ibu saya juga seorang guru. Saat menjadi wali kelas, beliau sering mendapat hadiah dari murid-muridnya, tapi bukan perorangan.
Kalau tidak salah, satu kelas mengumpulkan iuran atau menggunakan uang kas kelas untuk membeli hadiah bagi wali kelas.
Ibu sering berkata, tidak usah memberi hadiah, sebab guru atau wali kelas lain tidak ada yang diberi. Tapi murid-muridnya memaksa, sehingga ibu menerimanya.
Hadiahnyapun bukan sesuatu yang mahal, tapi berkesan. Pernah ibu dihadiahi lemper, lontong, atau arem-arem raksasa. Terus jam dinding kalau tidak salah. Sudah lama sekali, jadi tak ingat.
Anakkupun saat mengikuti kegiatan PIRNAS juga membelikan kain batik untuk wali kelasnya.
Saya sih setuju saja, sebab suamikupun pernah mendapat hadiah dari murid-muridnya saat menjabat sebagai wali kelas.
Terkadang hadiah-hadiah itu juga bisa berubah menjadi gratifikasi ketika hadiah yang diberikan akan mempengaruhi pengambilan keputusan atau mempengaruhi pemberian nilai.