"Saudara sudah berkali-kali mempermudah ijin, untuk itu kami akan mengambil tindakan tegas jika hal itu terulang! "
Surat peringatan itu ditujukan untuk suamiku. Kira-kira begitu, atau mungkin isinya lebih keras.
Aku sudah agak lupa, soalnya kejadian itu terjadi saat aku hamil tua si sulung. Sekitar tahun 1998. Sudah hampir 25 tahun, tapi selalu membekas dalam ingatan.
Saat hamil si sulung, aku memang mengalami kondisi yang cukup berat. Ngidam yang cukup mengkhawatirkan. Muntah beruntun dan hampir tidak pernah berhenti, sedang saat itu aku nyambi menyelesaikan skripsi.
Saat kehamilan berumur 8 bulan baru kondisi agak membaik. Dukungan dan kehadiran suami tentu saja sangat penting di saat seperti itu.
Apalagi kami cuma berdua di rumah kontrakan. Saat-saat kehamilan yang berat, untungnya bisa kami lewati dengan aman.
Menjelang kelahiran, kami memutuskan untuk pulang dan bersalin di Purworejo saja, di sana banyak saudara dan dukungan keluarga.
Tapi ternyata, si sulung masih betah di dalam perut. Saat perkiraan lahir, dia belum bersedia menengok dunia. Sehingga suami yang khawatir, ingin mengajukan ijin di sebuah SMA swasta yang menjadi sekolah ke-2 selain tempat mengajar di sekolah negeri.
Tapi justru peringatan keras yang datang.