Lihat ke Halaman Asli

Isti N. Saptiono

Pengajar dan penggiat pendidikan

Gerakan Anti Korupsi Harus Dimulai dari Diri Sendiri

Diperbarui: 15 Januari 2020   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://pixabay.com/id/illustrations/tidak-ada-korupsi-stop-korupsi-4650589/

Berita tentang tertangkapnya seorang Komisioner KPU yang menerima suap beberapa waktu lalu kian menambah jumlah kasus terkait korupsi, kolusi, dan nepotisme di negara ini.

Dalam Konferensi Pers pada tanggal 17 Desember 2019, KPK mengumumkan bahwa selama kurun waktu 2015-2019, lembaga tersebut telah menangani 608 tersangka dalam berbagai modus perkara, melakukan 498 penyelidikan, 539 penyidikan, 433 penuntutan, 286 inckracht, dan 383 eksekusi. [sumber: https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1430-kinerja-4-tahun-kerja-pemberantasan-korupsi-belum-selesai]

Menurut data Corruption Perceptions Index 2018 yang diterbitkan oleh Transparency International, Indonesia mendapat score 38 (score 0 = paling korup, 100 = paling bersih), naik 1 score dari 37 di tahun 2017. Secara peringkat, Indonesia ada di peringkat 89 dari 180 (Peringkat 1 adalah Denmark dengan score 88, sedangkan Somalia di peringkat 180 dengan score 10). Di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat 4 dari 9 (Peringkat 1 adalah Singapura dengan score 85, sedangkan Kamboja di peringkat terakhir dengan score 20). [sumber: https://www.transparency.org/files/content/pages/2018_CPI_Executive_Summary.pdf]

Ini tentu bukanlah prestasi yang patut dibanggakan!

 Ingin rasanya kita mengatakan bahwa kita adalah bangsa yang anti korupsi. Ingin rasanya kita mengatakan bahwa korupsi hanyalah bagian dari elit tertentu, kelompok para penguasa dan pejabat negara. Ingin rasanya kita menepis anggapan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya kita, seperti yang pernah dikatakan oleh Bung Hatta dan dimuat dalam Indonesian Observer, Juli 1970.

Namun, kenyataannya memang praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan sudah menjadi hal yang biasa kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Mungkin kita sendiri tanpa sadar sudah menjadi bagian dari praktek tersebut, turut menyuburkan praktek semacam, atau paling tidak "cuek" terhadap praktek semacam.

Apa tanggung jawab kita sebagai warga negara yang akan mewariskan negara ini kepada anak-cucu kita? "Cuek" berarti tidak bertanggungjawab. Tidak melakukan apa-apa sama saja dengan merestui perbuatan koruptif!

Apa korupsi itu? 

Dari sekian banyak definisi yang ada, dengan berbagai interpretasi sesuai dengan perubahan jaman, esensi pokoknya tetap sama, yaitu memiliki dua unsur:

  1. Penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pemegang kekuasaan; dan
  2. Pengutamaan kepentingan pribadi atau kelompoknya di atas kepentingan publik (sehingga merugikan publik).

Pokok masalahnya adalah bukan pada definisinya, melainkan pada pemahaman atas konsepnya, pada cara memandang apakah tindakan tertentu termasuk korupsi atau tidak. Cara pandang tentang apa yang boleh dan tidak boleh, benar atau salah, baik atau buruk, korupsi atau tidak, menjadi landasan dalam bersikap dan berperilaku. Cara pandang ini dipengaruhi oleh budaya, nilai-nilai yang dianut, dan pola asuh seseorang.

Nah, kalau kita ingin menolak pendapat bahwa korupsi adalah bagian dari budaya kita, maka kita harus dengan sadar menghilangkan dua unsur yang terdapat dalam definisi korupsi tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita. Praktek-praktek di bawah ini merupakan hal yang semakin lama semakin dianggap lumrah, jamak, dan biasa saja. Sudah tidak ada lagi "rasa" bahwa hal tersebut tidak patut, salah, buruk, dan bermuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline