Keterbatasan lahan untuk membangun sebuah rumah menjadi keresahan bagi pemerintah. Sejauh ini ketersediaan lahan ruang untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni masih belum sesuai. Sebanyak 12,5 juta rumah tangga belum bisa mengakses kebutuhan pokok ini.
Muncullah suatu gagasan yang konon bisa menjadi solusi bagi masyarakat. Judulnya tabungan perumahan rakyat (tapera), hal ini digadang-gadang akan direalisasikan sebagai wacana memenuhi kebutuhan yang santer tersebut.
Kutipan-kutipan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mempertegas dinamika tapera itu, katanya dalam suatu kesempatan “kita semua memahami bahwa arah kebijakan pembangunan nasional bidang perumahan yaitu penyediaan perumahan dan pemukiman layak, aman dan terjangkau untuk mewujudkan peningkatan akses masyarakat secara inklusif dan bertahap terhadap layak huni”
Lebih lanjut, ukuran dan model rumah belum tampak jelas. Ramai yang berkomentar bahwa seandainya sudah punya rumah apa harus menanggung beban tersebut atau jika masih dalam proses cicilan rumah apakah masih ada pemotongannya juga? Karena dari konsep pembiayaan ini menawarkan prinsip gotong royong, dilain sisi beban hidup masyarakat juga bertambah. Belum lagi inflasi yang kemudian hari bisa saja terjadi melihat kebutuhan pokok makin hari makin tidak terkendali.
Sebagai ilustrasi saja jika melihat beban hidup dari masyarakat kita yang pendapatannya “rendah” kita hitung UMR wilayah yang berbeda, semisal di Banjarnegara yang UMR nya senilai 2.038.005 dipotong 3% perbulan berarti dalam setahun senilai 733.000 artinya dalam jangka waktu 40 tahun mencapai 29.000.000 apakah masih relevan harga rumah setelah 40 tahun bekerja dengan rumah senilai dengan nominal tersebut? Pada dasarnya melihat lahan dan posisi ukuran rumah yang lumayan semrawut di Indonesia sangat tidak relevan. Meski potongannya kecil perbulan tapi jika melihat harga pokok yang hari demi hari tak menentu, jumlah potongan itu cukup pengaruh.
Belum termasuk dengan potongan-potongan lain seperti BPJS, ppn dan lain-lain. Lantas rumah yang dibangun ukuran berapa kali berapa dan korelasi pembiyaannya dengan prinsip gotong royong itu bagaimana prosedurnya? Sehingga yang bergaji rendah tidak keberatan dan yang bergaji tinggi bisa merelakan. Karena sangat jomplang sekali jadinya, harga rumah yang bagaimana dimaksudkan itu mesti diperjelas.
Kiranya pasti proyek tapera ini sudah dirancang untuk kebaikan masyarakat, tetapi perlu dipertimbangkan akan kebutuhan dan komoditi pasar. Masyarakat saat ini sangat perlu biaya hidup yang layak sebenar benarnya tanpa janji-janji dan realistis bisa tercapai. Masalahnya, proyek-proyek seperti ini bisa jadi lahan basah yang bisa mangkrak lalu masyarakat bisa merugi. Jelas kebijakan ini sangat disayangkan jika benar terjadi.
Investasi sosial hunian yang didambakan justru menjadi beban ibarat kata masyarakatlah yang pontang panting. Anehnya birokrasi justru menampakkan kondisinya atas ketidakmampuannya dalam menyelesaikan persoalan hunian ini.
Cepat atau ditundanya kebijakan ini tetap warnanya sama saja tidak adil bagi kita. Menurut catatan Kompas pada tahun 2022 Laporan Pengelolaan Program BP tapera menunjukkan 44,75% dana kelolaan diinvestasikan ke obligasi negara. Sebanyak 46,62% ke obligasi korporasi.
Jadi kesimpulannya dana-dana ini juga mengalir untuk program pemerintah seperti pembangunan IKN hingga makan siang gratis. Begitu menurut penuturan Bhima Yudhistira selaku Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies.
Perlu Model Kepemimpinan Yang Adil