Lihat ke Halaman Asli

Persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi Ritual Grebeg Suro di Ponorogo

Diperbarui: 24 April 2019   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu rangkaian acara Grebeg Suro yakni Larung Sesaji di Telaga Ngebel. (Sumber gambar : Dian Kartika)

Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki potensi yang cukup tinggi di bidang kepariwisataan.Di Ponorogo terdapat wisata dimana didalamnya meliputi wisata alam, wisata religi dan wisata kebudayaan. Salah satu wisata kebudayaan yang terkenal hingga luar Ponorogo yakni Tradisi Ritual Grebeg Suro. Kegiatan "Grebeg Suro" merupakan kegiatan atau ritual yang dianggap sakral oleh masyarakat Ponorogo, yang diselenggarakan setiap tanggal 1 pada bulan Muharram, kegiatan tersebut secara umum bertujuan untuk melestarikan nilai - nilai luhur yang ada termasuk di dalam kesenian Reog Ponorogo.

Kegiatannya Grebeg Suro ini terdiri dari beberapa rangkaian, mulai dari: kesenian dan tradisi yang mempertunjukan kesenian reog dengan model festival yang diikuti oleh berbagai masyarakat Ponorogo, selanjutnya kegiatan Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka (memandikan keris dengan bunga), dan Larungan Sesaji serta risalah do'a di Telaga Ngebel. Perayaan Grebeg Suro tersebut juga merupakan indikator kepedulian Pemerintah Kabupaten Ponorogo terhadap persoalan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Ponorogo. Kepala daerah Kabupaten Ponorogo melakukan pengambilan kebijakan, berdasarkan nilai yang percayai masyarakat, dimana wilayah ini dalam sejarah masa lalu memiliki Local Widom berupa penyelenggaraan kegiatan Tradisi Ritual Grebeg Suro.

Tradisi ritual Grebeg Suro secara kultural merupakan wujud syukur masyarakat terhadap sang pencipta terhadap nikmat dan berkah yang sudah diberikan dan wadah untuk meminta keselamatan hidup. Dari beberapa rangkaian kegiatan Grebeg Suro terdapat salah satu rangkaian acara yang banyak menimbulkan kontra baik dari masyarakat yang berkunjung maupun dari masyarakat Ponorogo itu sendiri. khususnya pada acara Larungan Sesaji di Telaga Ngebel. Namun jika dilihat dari sudut pandang masyarakat, ternyata Tradisi Ritual Grebeg Suro ini menimbulkan persepsi yang berbeda antar masyarakat Ponorogo, Misalnya seperti masyarakat Ponorogo yang tinggal di salah satu daerah tempat pelaksanaan Tradisi Ritual Grebeg Suro yakni Desa Ngebel dengan masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran Ponorogo seperti Desa Gupolo, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo.

Kepala Desa Ngebel, Mujiono, mengatakan acara Larungan sesaji itu dilakukan sebagai wujud syukur dan meminta keselamatan terhadap Tuhan yang dilakukan lewat perantara alam, karena dari nenek moyang sampai sekarang masih banyak masyarakat di sekitar Telaga Ngebel yang masih memegang teguh kepercayaan animisne. Animisme yaitu sebuah kepercayaan bahwa benda yang bernyawa maupun tidak bernyawa memiliki roh sehingga bisa mempengaruhi kehidupan manusia.

" Acara Larungan Ini menjadi bentuk rasa syukur terhadap kenikmatan yang diberikan Tuhan dan juga sebagai wadah untuk meminta keselamatan kepada Sang pencipta. Di Telaga Ngebel nantinya juga akan  dilarungkan satu buah tumpeng raksasa sampai di tengah Telaga lalu di tenggelamkan, hal ini dilakukan karena adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha yang mempercaai bahwa alam memiliki roh, begitu pun dengan masyarakat Desa Ngebel sebagian besar masih memegang kepercayaan animisme". Kata Mujiono kepada Peneliti Kamis (11/4/2019).

Sementara itu, Tokoh Agama Desa Gupolo, Abu Yahdi mengatakan bahwa acara Grebeg Suro tersebut dilaksanakan untuk memperingati 1 Muharram, namun di salah satu rangkaian acara tersebut yakni Larungan Sesaji kurang begitu setuju.

"Ini merupakan suatu acara untuk memperingati tanggal 1 Muharram, namun di salah satu rangkaian Grebeg Suro yakni Larungan saya kurang begitu setuju, karena acara melarungkan tumpeng dengan ukuran raksasa sangat mubazir jika makanan sebanyak itu harus di larung ke Telaga.  Wujud syukur tidak harus dengan melarungkan makanan, namun bisa dengan berdo'a bersama dan makanan dibagikan kepada masyarakat". Kata Abu Yahdi

Abu Yahdi menuturkan, untuk kedepannya semoga acara Larungan Sesaji tersebut bisa diperbaiki, dengan begitu tidak menimbulkan perbedaan faham antar masyarakat. Sehingga antara kebudayaan, agama dan pariwisata bisa berjalan beriringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline