Lihat ke Halaman Asli

(Mirror) Ternyata, Putriku Belajar Bicara Bersama . . . .

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

196 istiana arienti

Sudah sebulan ini kami sekeluarga menempati rumah baru. Meskipun bangunan tua namun pemilik lama nyatanya telah merawatnya dengan baik. Menurut pengakuannya, rumah ini sudah dibangun sejak jaman perang Jepang.

Ibu Sri adalah pemilik rumah tua ini. Rumah ini adalah peninggalan dari suami beliau yang kini sudah tiada. Ibu Sri tidak lagi menempati rumah ini karena harus pindah menemani anaknya yang tinggal di luar kota. Sosoknya yang ramah membuat aku betah berbincang-bincang lama dengannya.

Hampir setiap minggu, Ibu Sri datang bersama cucunya yang umurnya hampir sama dengan putriku. Meski tidak dikenalkan secara resmi, cucunya bisa langsung akrab dengan putri semata wayang kami. Seperti hari ini, mereka datang dan anakku menyambutnya dengan gembira. Mereka langsung bermain bersama.

“Bu...amu eh cim ....” (bu mau es krim...) kata anakku yang belum bisa bicara dengan jelas pada umurnya yang saat ini menginjak 4 tahun. “Berapa . . . “ tanyaku sambil mencium keningnya. “uwa...” (dua) jawabnya sambil mengacungkan kedua jarinya.

“Nak, kelihatannya putrimu belum bisa bicara dengan jelas ya” tanya Bu Sri setelah aku mengambilkan anakku es krim.

“Iya bu, padahal kami sudah mencoba berbagai macam cara, saya sudah coba memberi sedikit bumbu pedas pada makanannya, memberinya tempe busuk pada sayurnya, tapi semua itu sia-sia saja. Kadang kalo minta sesuatu, dia sampe nangis karena kami bener-bener nggak ngerti apa maunya. Apa Ibu punya saran?”

“Anak-anak jaman dulu cepet ngomong karena saudara dan teman-teman sepermainannya banyak, Nak. Tanpa disadari, mereka akan belajar banyak kosakata dan perlahan-lahan akan berbicara dengan jelas. Coba saja diajak main ke rumah tetangga, mungkin akan sedikit berbeda” jawab Ibu Sri.

“Tapi aneh Bu, sejak pindah rumah disini, dia tidak mau diajak main ke rumah tetangga. Katanya ada macan. Mana kata saya, dia pasti langsung nunjuk pagar itu.” kataku sambil menunjuk pagar rumah kami yang dimaksud oleh anakku.”Saya bingung, apa ini karena dia sering main boneka macan trus jadi membayangkan ada macan beneran ya Bu?” sambungku lagi.

“Mungkin saja, Nak. “ jawab Ibu Sri sambil membetulkan kebayanya. Aneh, kenapa wajahnya mendadak pucat. Apa sakit?

“Ibu Sri tidak apa-apa? kog wajah ibu pucat, saya ambilkan obat ya Bu?”tawarku pada Ibu Sri.

“Tidak usah repot-repot, Nak? Sepertinya sudah sore, saya pulang dulu ya, kapan-kapan saya main kesini lagi. Masih bolehkan? Kadang saya masih kangen sama rumah ini dan kenangan-kenangan di dalamnya. Tolong rawat rumah ini dengan baik ya, Nak?” pesannya sebelum pulang.

“Ya Bu, saya akan rawat rumah ini. Biar diantar suami saya saja Bu, kebetulan sebentar lagi dia pulang kantor” pintaku. “Tidak usah Nak, ibu mau naik taksi saja. “ jawabnya. Aku segera telponkan taksi yang dimaksud. Beberapa menit kemudian taksi pun datang.

“Terima kasih ya, Nak. “katanya sambil melambaikan tangan pada kami berdua.

Kini sudah sebulan lebih Ibu Sri tidak berkunjung ke rumah. Saat kutelepon rumahnya, Ibu Sri sendiri yang menjawab kalau sebulan ini banyak sekali kegiatannya. Mulai dari menghadiri resepsi hingga acara-acara keluarga lainnya. Beliau minta maaf kepadaku karena tidak dapat mengunjungiku.

Entah kenapa, aku merasa kangen dengan Ibu Sri. Sosoknya yang keibuan membuatku seperti dekat dengan ibuku sendiri. Padahal aku sendiri masih memiliki ibu kandung, tetapi karena beliau tinggal di luar kota yang jaraknya cukup memakan waktu, kami tidak dapat setiap waktu bertemu.

Namun akhir-akhir ini, ada yang aneh pada putriku. Cara bicaranya semakin jelas. Bahkan dia juga sudah mau menyanyi meski suaranya tidak teratur. Dia juga sering berbicara sendiri. Saat kutanyakan hal ini pada mertuaku, katanya itu adalah hal yang biasa terjadi pada anak-anak. Kalau orang Jawa bilang itu “Kemedan”. Diterangkan pun aku juga tidak mengerti arti istilah itu. Seperti hari ini. Dia minta makan sendiri dan tidak mau disuapi seperti biasanya.

“Bu, mba Nining mau bobok sini boleh?” tanya anakku suatu hari. “Siapa mba Nining itu dek? “tanyaku. “Itu bu, yang seying maen kecini, yang ngajayin aku, cucunya Bu Ci…. “ jawabnya lugu.

Aneh, selama ini anakku bermain sendiri. Tapi ternyata …..Siapa Nining, cucunya Ibu Sri. Bukankah sudah lama Ibu Sri tidak datang berkunjung. Ah lebih baik aku bersihkan kamar anakku dulu.

Kubersihkan semua buku gambarnya, tapi apa ini…. Sebuah sobekan surat kabar lawas bertuliskan “Seorang anak kecil bernama Nining tewas tersiram air panas. Saat jenazahnya akan dikuburkan tiba-tiba seekor harimau muncul dari semak-semak dan menggigit kakinya. Harimau itu berhasil membawa kaki kirinya lari. Harimau tersebut tidak berhasil ditangkap. Menurut salah satu pelayat, harimau itu adalah jelmaan roh halus. Harimau itu …..”

“Tante….”

“Si….si….si…a..pa…kamu…..!!?” jawabku gugup tanpa menoleh karena takut.

“Aku nining tante cucunya Ibu Sri”…….

Aku langsung menoleh kebelakang, ….. “aaaaaa……………….” Gubrak……..

“Ibu……ibu….ibu kenapa.. kog takut sama Dina…..?”

makasih ya mba devi.....udah bantuin posting......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline